PUPR Pemprov Kalsel Nyatakan Masalah Lahan Helmi Telah Tuntas

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

klikkalimantan.com, MARTAPURA – Pekan lalu, tepatnya pada 7 Oktober 2020, Helmi Mardani, warga RT001, Desa Jingah Habang Ilir, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar, mempertanyakan soal ganti rugi lahan miliknya yang terdampak pengerjaan proyek Jalan Lingkar Mataraman – Sungai Ulin. Pasalnya, sejauh ini soal ganti rugi tersebut tak ada kejelasannya.

Pertanyaan dari putra alm H Supriadi tersebut dilontarkannya, karena menilai pemerintah yang melakukan proyek pengerjaan Jalan Lingkar Mataraman – Sungai Ulin tersebut telah bertindak semena-mena terhadap dirinya berserta keluarganya.

Mengingat, belum lagi proses ganti rugi lahannya beres, pihak kontraktor sudah melakukan eksekusi dan membabat habis semua tanaman pohon yang masih berdiri subur di lahan miliknya.
Terlebih, dikatakan Helmi, harga nilai ganti rugi yang disodorkan Apraisal pada 2018 lalu tidak sesuai, yakni seharga Rp166.000 per meter persegi, dengan total harga keseluruhan luas lahan sekitar Rp650 Juta, atau lebih rendah dibandingkan harga yang disodorkan Aprasial pada 2014 lalu, yakni Rp220.000 per meter persegi. Sedangkan, untuk lahan yang berada sekitar 750 meter dari ruas jalan utama dihargai sekitar Rp200.000 per meter persegi.

Menanggapi Ikhwal tersebut, Kepala Dinas Penataan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Kalimantan Selatan (PUPR Pemprov Kalsel), Roy Rizali Anwar, melalui Muhammad Nursjamsi, Kepala Bidang (Kabid) Penataan Ruang dan Pertanahan mengatakan, terkait persoalan yang dialami Helmi tersebut sebenarnya sudah ada putusan Mahkamah Agung (MA) atau telah inkrah.
“Sebenarnya, Dinas PUPR Provinsi hanya melakukan penyusunan dokumen saja, atau mendata mana lahan yang sudah atau belum dilakukan pembebasan lahan, dan berapa luasannya. Sebelum dikeluarkan dokumen perencanaannya yang memuat, baik terkait panjang, lebar, luasan lahan, dan jumlah Persil atau orang yang terdampak pembebasan lahan,” ujar Muhammad Nursjamsi kepada klikkalimantan.com, Selasa (13/10/2020).

BACA JUGA :
Dua Pejabat Utama dan Satu Kapolres di Polda Kalsel Berganti

Atas dasar tersebutlah, lanjut Nursjamsi didampingi Kasi Pertanahan Siddiq Wahyu Pamungkas, pihaknya dapat menetapkan lokasi yang ditandatangani Gubernur, setelah menyurati kantor wilayah (kanwil) untuk membentuk panitia pembebasan lahan yang selanjutnya untuk pengukuran dilakukan Badan Pertanahan Negara (BPN).
“Tanaman tumbuh pun dilakukan penghitungan dari dinas kabupaten dan kota yang terkait. Jadi, dari data luasan, tanaman tumbuh, dan bangunan, kita buatkan data normatifnya dan disetujui. Selanjutnya kami meminta BPN untuk menunjuk Apraisal yang melakukan penghitungan setelah mendapat persetujuan Kanwil,” bebernya.

Kendati perhitungan telah dilakukan Apraisal secara langsung di lapangan, dan semua proses seperti berita acaranya telah disetujui semua pihak. Serta proses musyawarah terkait proses ganti rugi telah diketahui semua pihak yang bersangkutan baik pemilik lahan. Namun, diakui Nursjamsi, hanya Helmi bersama keluarganya yang melakukan penolakan pada 2018 lalu, hingga menganggarkan satu pohon miliknya sekitar Rp1Juta.

“Semua yang bersangkutan sudah kita panggil untuk memberikan pembinaan, dan menyampaikan, baik terkait total luasan lahan, tanaman tumbuh, hingga nilai bangunan yang terdampak proyek pengerjaan jalan. Semua total nilainya sudah kami sampaikan. Bahkan, terkait masalah harga pohon, setiap kabupaten/kota kan sudah memiliki Surat Keputusan (SK) kepala daerah terkait satuan harga tanaman pohon berdasarkan usianya,” ungkapnya.

Karena terjadi penolakan dari Helmi, papar Nursjamsi, berdasarkan aturan, pihaknya pun memberikan waktu selama 14 hari untuk mempertimbangkan hal tersebut. “Sebelum masa 14 hari berlalu, ternyata Helmi masih belum menyetujuinya dan malah mengajukan proses tersebut ke Pengadilan Negeri (PN) Martapura. Proses hukum pun dilaksanakan dengan menghadirkan sejumlah saksi,” ucapnya.

Setelah beberapa kali melalui proses sidang, ungkap Nursjamsi, ternyata hasilnya tetap dimenangkan Pemprov Kalsel. Dan Helmi pun melanjutkan Hak Kasasi untuk banding ke MA, dan hasilnya tetap dimenangkan pemerintah.
“Helmi masih belum bisa menerima. Kami masih memberikan kesempatan Helmi untuk melakukan upaya hukum terakhirnya untuk melakukan peninjauan kembali ke MA, tapi hasilnya sama. Jadi, secara alur hokum, prosesnya sudah kita laksanakan. Kita pun telah menitipkan uang ganti rugi ke pengadilan dan diketahui Helmi,” katanya.

BACA JUGA :
Baru Satu Bulan Lebih, Angka Kasus DBD di Kabupaten Banjar Meningkat

Dengan tetap bersikeras mempertahankan lahannya, tambah Nursjamsi, pemerintah sebenarnya bisa saja mencabut hak atas kepemilikan tanah Helmi untuk kepentingan umum, karena sudah inkrah.
“Atas dasar itu kami berembuk dengan semua instansi hingga tingkat kecamatan, Koramil, dan Polsek setempat, untuk melakukan upaya persuasif agar mereka tidak menghalangi proses pembangunan. Karena adanya penolakan ini, tentunya menghambat proses pembangunan jalan alternatif yang sudah terencana sejak 2005 silam. Kalau tidak ada penolakan, kemungkinan di 2007 jalan ini sudah rampung dan tidak menimbulkan kerugian materi dari pemerintah,” jelasnya.

Begitu pun terkait nilai ganti rugi yang dikeluhkan Helmi karena terlalu rendah, jelas Nursjamsi, juga telah dilakukan penghitungan pada 2014 dan 2018 lalu.
“Camat pun pada tahun lalu sudah menyatakan harga yang dibayarkan per meter untuk lahan Helmi sudah sesuai, dan lebih tinggi dari lahan di sekitarnya, yakni Rp220.000 per meter perseginya,” ucapnya.

Sedangkan terkait kenapa harga lahan Helmi tiba-tiba lebih rendah dibandingkan 2014 lalu dibandingkan harga tanah Riduan, Nursjamsi menambahkan, versi Apraisal, tanah Riduan letaknya telah jauh lebih dekat dengan lahan provinsi setelah terbangun kan jalan. Sedangkan tanah milik Helmi berada di status jalan desa, yang tentunya harga lahan jalan kabupaten dan provinsi sangat berbeda jauh.

“Karena jalan provinsi itu kan lebarnya minimal 25 meter, kalau jalan desa hanya 5 meter saja. Sedangkan perhitungan Apraisal kan berdasarkan kondisi saat itu. Sehingga setelah terjadi perkembangan wilayah dengan terbangunnya jalan, lahan Riduan pun lebih mahal. Kalau saja Helmi beberapa tahun lalu menyetujui, harga tanahnya tentu lebih tinggi, yakni  Rp220.000 per meter perseginya, dibandingkan dengan di 2018, yakni sebesar Rp166.000 per meter persegi,” pungkasnya.

BACA JUGA :
Petugas Penegak Perwali 86 Tak Pernah Paksakan Denda

Karena permasalahan tersebut dinilai telah tuntas dan berkekuatan tetap, Pemprov Kalsel pun akan terus melaksanakan proyek pengerjaan jalan.(Zai/klik)

Berita Terbaru

Scroll to Top