Melihat Dekat Pertanian di Kawasan Jalur Penerbagan (2)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Alasan Petani Lebih Memilih Pupuk Alami

Oleh: Rudiyanto

Sudah sekitar 19 tahun Wagiyo melakoni pekerjaan sebagai petani penggarap di atas lahan milik PT Angkasa Pura I, di Jalan Kurnia, Kelurahan Landasan Ulin Utara, Kecamatan Liang Anggang, Banjarbaru. Dan selama itu lah, ia tak ingin terlalu berharap pada uluran tangan pemerintah.

Pupuk misalnya, pendatang dari Jawa Tengah ini sangat jarang menggunakan pupuk kimia pabrikan. Beli sendiri di toko penyedia perlengkapan pertanian, maupun pupuk bantuan yang disalurkan pemerintah melalui kelompok-kelompok tani.

Untuk menggemburkan tanah, Giyo, begitu di kalangan petani sayur ia disapa, justru lebih memilih menggunakan pupuk kandang bekas kotoran ayam yang ia beli dari Bati bati, Tanah Laut dengan harga Rp17.000 per karungnya. “Di Kelompok tani pupuk TSP dan Ponska memang tersedia, tapi tetap masih harus membeli dengan harga lebih dari Rp100 ribu per saknya,” kata Wagiyo.

Alasan lain kenapa ia tak ingin terlalu berharap pada bantuan pemerintah, karena kinerja penyuluh pertanian yang ada lapangan dinilai tak maksimal membantu dan menuntaskan permasalahan yang dihadapi petani.

“Seperti tanaman terong yang mengalami kuning daun dan mati. Petugasnya menyuruh dicabut saja tanpa ada penjelasan kenapa atau penyakit apa. Kami petani kan juga ingin tahu jenis penyakit dan obatnya. Kalau sekadar mencabut kami petani yang tidak sekolah juga bisa,” kata Wagiyo.

Selama ini, Wagiyo dan puluhan petani sayur lainnya mengaku merasa berjuang sendiri. Pemerintah yang seharusnya menjadi wadah bersandar dan berbagi keluh kesah, perannya justru tak terlalu banyak dirasakan.

Bibit misalnya, selama ini ia harus membeli atau membuat bibit sendiri karena hanya sedikit bantuan pemerintah yang sampai ke tangannya. “Tahun lalu memang ada bantuan bibit bawang merah, Tapi tak banyak dan gagal panen karena busuk. Sebelum-sebelumnya juga pernah ada bantuan bibit kacang tapi cuma satu bungkus. Kalau cuma satu bungkus tak akan cukup dibagi untuk semua anggota kelompok tani,” katanya.

BACA JUGA :
Sambut Ramadhan, Disbudporapar Kembali Gelar Pasar Wadai

Seperti halnya Wagiyo yang tak ingin terlalu berharap pada bantuan pemerintah, Subiyanto, Ketua Kelompok Tani Karya Baru di Jalan Kurnia melontarkan pernyataan senada. Pasalnya, menurut Subiyanto, keberadaan petani dan kelompok tani terkadang justru jadi ladang pangan bagi segelintir oknum yang mencari keuntungan sendiri.

“Pernah diajak studi banding ke beberapa daerah tanpa dikasih uang saku, hanya di tanggung ongkos makan dan tidurnya. Dan setelah pulang, kami hanya disodori daftar dan kwitansi kosong untuk ditandangani,” katanya. (bersambung)

Berita Terbaru

Scroll to Top