klikkalimantan.com – Sejak kepulangannya dari Tanah Suci pada 2003, Hj Batinah (69) selalu memakai bolang sebagai penutup kepalanya. Baik saat sedang di dalam, maupun saat beraktifitas di luar rumah, penutup kepala berbahan kain dengan ornamen lilitan di bagian pinggirnya itu, tak pernah lepas dari kepalanya.
Bagi Hj Batinah, bolang tak sekadar sebagai penutup kepala tanpa makna. Namun lebih dari itu, bolang menjadi penanda bahwa ia telah menunaikan rukun Islam kelima dan sebagai penyandang gelar haji. Karenea dengan memakai bolang di kepala, dapat dengan mudah diketahui yang telah berhaji dan mana yang belum.
Menurut Hj Batinah, khususnya tempo dulu, berangkat ke Tanah suci untuk berhaji merupakan perjuangan berat yang menuntut kesiapan jiwa dan raga. Termasuk di dalamnya usaha dan kerja keras mengumpulkan uang untuk ongkosnyaApalagi bagi sebagian besar masyarakat, ongkos naik haji yang mencapai puluhan juta bukanlah jumlah sedikit.
Atas segala perjuangan dan kerja keras untuk dapat berhaji itu, kata Hj Batinah, wajar jika kemudian diberikan penanda sebagai wujud penghargaan bagi mereka yang sudah berhaji. Dengan cara, mengenakan bolang bagi wanita dan kupiah putih atau juga biasa disebut kupiah haji bagi laki-laki.
“Ketika itu ongkosnya Rp25 Juta. Dan itu bukan jumlah yang sedikit. Perlu bertahun-tahun menabung untuk mengumpulkannya. Jadi saat mengenakan bolang ada semacam rasa kebanggaan tersendiri atas semua perjuangan yang telah dilakukan,” kata Hj Batinah, belum lama tadi.
Memakai bolang, kata Hj Batinah, merupakan tradisi temurun, utamanya bagi warga Banua sepulang dari Tanah Suci. Bolang adalah penutup kepala berupa selembar kain marhamah yang dipakai dengan cara dililitkan di kepala. Bebolang, begitu sebutan bagi orang yang mengenakan bolang.
Menurut Hj Batinah, tak semua wanita yang sudah berhaji dapat melilit bolang. Kemampuan melilit bolang biasanya didapat dari sesama jamaah haji saat masih berada di Mekah. Setelah semua rukun haji tuntas, biasanya para jemaah haji yang berasal dari Kalsel saling berbagi ilmu dan belajar cara melilit bolang di pemondokan.
Perlu waktu berbulan-bulan untuk dapat mahir melilit bolang sehingga lilitannya terlihat bagus dan rapi. Hj Batinah mengaku, tak kurang dari tiga bulan ia baru bisa melilit bolang dengan benar.
“Bagi yang sudah bisa, bebolang mungkin hanya perlu seperempat menit, tapi bagi yang belum mahir akan memakan waktu berjam-jam,” kata Hj Batinah
Namun, seiring dengan berkembangnya kreatifitas dan teknologi, bolang kini ada yang dibuat sudah dalam bentuk jadi dan banyak dijual di pasar. Bolang instan, jauh lebih praktis saat dikenakan. “Dulu, bolang hanya dipakai oleh orang yang benar-benar sudah naik haji. Tapi sekarang ada juga yang bebolang tapi belum berhaji,” kata Hj Batinah.
***
Meneganakan bolang sebagai penutup kepala purna berhaji, utamanya kaum perempuan Banua, menjadi tradisi temurun yang masih lestari sampai sekarang.
Hal itu menurut Budayawan Banjar, YS Agus Suseno, merupakan hal positif sebagai bentuk pelestarian budaya dan tradisi lokal sebagai daerah yang memang terkenal kental nilai-nilai Islami.
Menurutnya, tradisi bebolang menunjukkan kuatnya unsur peodalisme dalam struktur masyarakat Banjar. Hal ini dikarenakan, bebolang dijadikan semacam penanda kelas sosial di tengah masyarakat. Seorang yang telah berhaji umumnya dianggap telah sampai pada strata ekonomi mapan. Karena jika bebolang otomatis bisa dipastikan sudah berhaji.
Namun kini, kata Agus Suseno, tradisi mengenakan bolang sepulang dari Tanah Suci kian ditinggalkan. Terutama di kalangan masayarakat perkotaan. Hanya warga Banua yang tinggal di pedesaan yang masih banyak mengenakan bolang.
Sama halnya dengan tradisi bebolang yang kian ditinggalkan, kupiah haji yang dulu hanya dikenakan kaum pria yang sudah berhaji, kini tak sesakral dulu. Kedua penutup kepala itu ini bahkan banyak dijual di pasaran. Dan siapapun dapat mengenakannya, meski belum berhaji.
“Tak ada kewajiban berkupiah haji dan bebolang bagi Urang Banjar yang sudah naik haji. Itu hanya tradisi yang bisa hilang ditelan zaman,” kata Agus Suseno yang mahir berlakon dalam pentas mamanda ini.
Lebih lanjut ia menjelaskan, masyarakat Banjar multicultural, pluralistik, dan menyerap tradisi berbagai suku, termasuk Melayu dan budaya Cina. Itu telihat dari cara berpakaian, termasuk mengenakan kupiah haji dan bolang.
Namun begitu, ia mengaku tak setuju pada pendapat sebagian kalangan yang menyebut Banjar Melayu bagi masyarakat yang bermukim di Kalsel. Karena di Kalsel masih ada Dayak Meratus, Dayak Ngaju, Dayak Bakumpai, Dayak Maayan, juga budaya yang dibawa para pendatang, Jawa Madura, Bugis, Arab, Cina. (to/klik)