Almin Hatta
KETIKA Kerajaan Baghdad diperintah oleh Sultan Harus Al-Rasyid di pengujung dekade 700-an, yang dipercaya memegang jabatan Penghulu atau Kadi (semacam hakim agung sekarang) adalah Syeikh Maulana – ayah dari tokoh legendaris Abu Nawas yang ternama.
Suatu hari Syeikh Maulana sakit keras. Dalam keadaan tak berdaya dan cuma bisa tiduran di pembaringan, Maulana yang dikenal selalu bertindak adil dalam memutuskan setiap perkara ini memanggil anaknya tersayang Abu Nawas. Ia meminta Abu Nawas mencium kedua telinganya secara bergantian. Sebagai anak yang taat kepada orangtua, Abu Nawas tentu saja serta merta melaksanakan permintaan ayahnya. Ia pun mencium kedua telinga ayahnya. Mula-mula yang kanan, lalu yang kiri.
“Bagaimana anakku? Ceritakan sejujurnya, bagaimana bau kedua telingaku?” kata ayahnya.
“Aduh, sungguh mengherankan. Telinga ayah yang kanan harum luar biasa. Tapi, telinga kiri justru bau busuk tak terkira,” jawab Abu Nawas, sambil menatap mata ayahnya, meminta penjelasan.
Syeikh Maulana pun bercerita. Suatu hari, datang dua orang yang bersengketa kepadanya. Pengaduan orang pertama didengarkannya dengan saksama. Tapi pengaduan orang kedua, karena sejak mula tak disukainya, sama sekali tak diperhatikannya.
“Jadi, ayah semasa menjabat sebagai Kadi ternyata pernah pula berbuat tidak bijaksana,” ujar Abu Nawas menyela cerita ayahnya.
“Benar. Kelak, jika kau menjadi Kadi juga, maka kau pun akan mengalami hal yang sama,” ujar ayahnya.
Beberapa hari kemudian Syeikh Maulana meninggal dunia. Selang 21 hari berikutnya, Raja Harun Al-Rasyid memerintahkan menteri yang berkompeten untuk menghadapkan Abu Nawas ke istana.
Sementara itu, sejak ayahnya meninggal dunia, tingkah laku Abu Nawas berubah total menjadi seperti orang gila. Ke mana-mana ia selalu menunggung kuda-kudaan yang dibuatnya dari pelepah pisang. Maka, ketika ada pejabat kerajaan yang diiringi para prajurit memintanya segera menghadap raja, Abu Nawas justru memerintahkan mereka untuk memandikan kuda-kudaannya. “Cepat mandikan kudaku ini, agar bersih dan segar,” ujarnya.
Singkat cerita, sebagaimana dikisahkan kembali oleh MB Rahimsyah AR dalam bukunya Humor Sufi, Abu Nawas dianggap benar-benar telah menjadi gila sepeninggal ayahnya tercinta. Maka Raja Harun Al-Rasyid pun mengangkat orang lain sebagai Kadi Kerajaan. Sedangkan Abu Nawas yang sebenarnya bukan asli orang Baghdad melainkan pengelana dari Persia, meneruskan pengembaraannya ke sejumlah negeri lainnya.
***
Demikianlah, jabatan yang merupakan amanah teramat berat itu ternyata bisa membuat seorang Abu Nawas harus memainkan peran sebagai orang gila agar bisa menolaknya.
Tapi, sekarang, justru banyak orang yang berlomba-lomba untuk meraihnya dengan berbagai cara. Termasuk menghalalkan cara yang sebenarnya melanggar aturan negara dan norma agama. Bahkan tak sedikit orang yang tergila-gila untuk meraihnya. Pasalnya, jabatan sekarang ini tak lagi dipandang sebagai amanah, melainkan sebuah kesempatan menggenggam kekuasaan untuk menumpuk kekayaan.
Maka, pada Pilkada mendatang, marilah kita benar-benar selektif dalam menentukan pilihan. Pilihlah calon yang kita yakini akan benar-benar amanah jika dipercaya menjadi pimpinan pemerintahan.***