Oleh Almin Hatta
Katakanlah dengan bunga, maka hidup kita jadi ceria dan penuh pesona.
SEORANG siswi SMU berulang tahun yang ke-17. Sejumlah teman sekolahnya datang mengucapkan selamat, plus setumpuk kado sebagai tanda persahabatan. Acara kecil pun digelar, bernyanyi dan makan-makan. Puncaknya, gadis cantik yang berultah diminta memejamkan mata. Dan, salah seorang teman dekatnya mendekat, lalu memecahkan sebutir telur mentah di kepalanya.
Semua rekannya bersorak gembira. Gadis itu pun tertawa-tawa. Tapi sebentar kemudian ia terlihat cemberut, manakala menyadari kemeja putihnya penuh noda. Ia tampak kecewa.
Tapi kekecewaan itu tak berlangsung lama. Sebab, sebentar kemudian orang yang paling dinantikannya datang juga. Yakni pemuda tampan teman sekelasnya yang sudah sekian lama ditaksirnya. “Selamat, semoga bahagia,” kata si pemuda idaman sambil menyerahkan sekuntum bunga merah jingga.
Ah, alangkah bahagianya. Gadis cantik itu mendekap bunga ke dadanya, ke hatinya yang spontan ikut berbunga-bunga. Bunga cinta yang menebarkan sejuta pesona. Ya, cuma sekuntum atau seikat bunga yang sarat makna.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap mengungkapkan sesuatu lewat bahasa bunga. Bahkan kepada orang yang telah meninggal dunia pun kerap kita kirimkan bunga. Di hari kematiannya, kita berikan karangan bunga. Menjelang Ramadhan, kita kirimi bunga. Menjelang lebaran, kita kirimi bunga. Di bulan Maulid, kita kirimi bunga. Saat ziarah kapan pun, kita lagi-lagi menaburkan bunga aneka warna dan penuh aroma di pusaranya.
Andaikan jasad yang terkubur itu bisa bicara, ia kemungkinan besar memang tak menampik dikirimi bunga. Sebab, bagaimana pun juga, bunga adalah perlambang persahabatan, perlambang pernghormatan, dan tanda kasih sayang yang teramat dalam.
Tapi, andaikan si mati boleh memilih, ia tentunya tak mengharapkan bunga yang tak akan memberikan apa-apa bagi perjalanannya menghadap Yang Maha Kuasa. Ia tentunya minta dikirimi doa, dibekali amal zariah dari hartanya yang masih tersisa di dunia. Ia akan minta kepada ahli warisnya agar sisa hartanya jangan dipakai percuma untuk membeli kembang misalnya, apalagi sampai dipakai berpoya-poya. Ia akan minta seluruh sisa hartanya dipakai untuk amal zariah, menyantuni yatim piatu, membiayai pendidikan, atau memakmurkan masjid dan rumah ibadah lainnya.
Si mati bahkan akan menolak ulang hari kematiannya yang ke-3, ke-7, ke-25, ke-100, atau ke-1.000 “dirayakan” dengan selamatan yang menghabiskan cukup banyak uang. Ia, sesuai sunnah Rasulullah SAW, tentu cuma berharap agar anak-anaknya yang masih hidup di dunia mengerjakan amal saleh, shalat, membaca Alqur’an, dan menyedekahkan hartanya kepada orang atau lembaga yang membutuhkan. Itulah kado yang diinginkannya, bukan berupa bunga aneka warna.
Tapi, kalau demikian yang terjadi, maka sungguh kasihan nasib ratusan pedagang bunga dan petani bunga. Sebab bunga yang mereka jual tak akan ada lagi yang membeli, dan perlahan namun pasti usaha mereka akan mati. Padahal, mematikan usaha orang, apalagi usaha banyak orang, jelas merupakan perbuatan keji.
Karena itu, acara ritual yang mempergunakan bunga ada baiknya dipertahankan. Sebab, dengan demikian, usaha petani dan pedagang bunga akan tetap berjalan. Artinya, kebutuhan mereka sehari-hari akan tetap terpenuhi. Dan itu berarti kita telah ikut membantu mereka mengatasi kehidupan yang tak mudah ini.
Hanya saja, bunga untuk ritual kematian janganlah sampai diperlakukan sebagai sebuah kewajiban. Bahasa bunga sebaiknya cuma diperuntukkan bagi pergaulan dunia. Misalnya untuk kado ulang tahun, atau untuk kado rekan yang sedang melangsungkan perkawinan. Dengan demikian, ia akan menjadi bunga kehidupan yang mendatangkan kedamaian.***