Ada Sejak Puluhan Tahun Silam, Tak Instans Mengubah Dele Jadi Tempe
Oleh: Rudiyanto
Temurun sejak puluhan tahun silam, Sumberadi di Kelurahan Guntung Paikat, Kecamatan Banjarbaru Selatan masyur sebagai sentra pengolah tempe di Kota Banjarbaru. Banyak warga, yang umumnya pendatang dari pulau Jawa, melakoni pekerjaan sebagai pembuat bahan pangan berbahan dasar kedelai ini -orang Jawa menyebutnya dele-.
Endar Priyono, salah satunya. Pekerjaan sebagai pembuat tempe sudah digeluti pria berusia 38 tahun ini sejak 19 tahun lalu. Kemampuannya mengolah tempe diwarisi dari sang ayah, Sobirin yang kini sudah berusia 65 tahun.
“Sebelum bapak, mbah saya juga pembuat tempe. Jadi memang turun temurun. Jika ditanya sejak kapan? Sejak orang asli sini menggoreng tempe dengan bungkusnya. Sejak orang Banjar kebingungan, ini kok makanan ada kulatnya,” kata Endar sembari menyebut, termasuk dia, ada sekitar 20 orang di Sumberadi berprofesi sebagai pembuat tempe.
Ditemui di rumahnya, awal pekan lalu, Endar menjelaskan detil tahap demi tahap proses pembuatan tempe hingga siap jual dan dikonsumsi. Karena ternyata, perlu waktu sedikitnya empat hari untuk mengolah biji kedelai menjadi bakan makanan sumber protein nabati ini.
Diawali dengan proses perebusan. Menggunakan sebuah drum berukuran besar, puluhan kilogram kedelai impor dari Amerika direbus di atas tungku kayu dalam waktu sedikitnya dua jam. Rampung direbus, kedelai lantas digiling. Penggilingan bertujuan untung memecah biji tempe dan mengupas kulit ari. “Sehari, rata-rata 60 kilogram kedelai yang saya olah,” kata Endar yang selalu memulai aktifitas pembuatan tempe pagi hari.
Setelah biji kedelai terbelah dua, dan kulit ari terkelupas di tahap penggilingan, kedelai kemudian direndam dengan air bersih. Perlu satu malam merendam kedelai sebelum berlanjut ke tahap pengolahan berikutnya, yakni pencucian keesokan harinya.
Menurut Endar, saat perendaman terjadi proses permentasi. Air rendaman akan mengental dan berledir dengan tingkat keasaman cukup tinggi. Tanpa kadar asam, kedelai tidak akan menjadi tempe. “Proses permentasi meningkatkan kadar asam pada air. Ini menjadi bibit awal ragi. Tanpa asam, dele tak akan jadi tempe,” ujarnya.
Hari kedua. Kedelai yang sudah direndam satu malam dibilas dengan air bersih. Endar menggunakan air sumur yang berada tepat di samping rumahnya untuk membilas rendaman air kedelai yang telah berubah menjadi lendir. Proses pembilasan menggunakan air sumur dilakukan beberapa kali hingga ledir pada kedelai hilang.
Penggunaan air sumur, menurutnya lebih baik ketimbang air leding atau air hujan. “Sejak dulu ya pakai air sumur. Kalau pakai air PDAM atau air hujan, tempe yang dihasilkan kurang bagus,” kata Endar yang menyakini air sumur di rumahnya, juga warga lain di Sumberadi bebas dari pencemaran.
Purna dibilas, tahap berikutnya adalah menaburkan bibit jamur, alias ragi. Proses ini cukup menentukan berhasil tidaknya kedelai menjadi tempe. Karena jika jamur tak tumbuh, maka kedelai urung menjadi tempe. Tak ada takaran atau ukuran pasti ragi yang digunakan. Endar justru lebih mengandal feeling yang terasah oleh kebiasaan sejak puluhan tahun silam. Ditambah lagi, proses tumbuhnya jamur juga bergantung pada suhu lingkungan. “Di rumah saya bisa saja berbeda dengan sudu di rumah sebelah,” ungkapnya.
Kedelai yag ditabur bibit jamur, kemudian dimasukkan dalam cetakan dengan panjang sekitar 1,6 meter. Sebelumnya, cetakan terlebih dulu diberi lapisan. Endar menggunakan dua jenis pelapis; daun pisang dan plastik.
Menurutnya, meski menggunakan dua lapisan berbeda, tempe yang dihasilkan tak jauh beda. Hanya saja, bagi Sebagian kalangan warga Banjar, tempe dengan lapis daun lebih dinilai lebih sedap karena beraroma, sedangkan berlapis plastik, tidak. “Faktor kebiasaan saja. Kalau Orang Banjar memang lebih suka yang berlapis daun karena dinilai lebih wangi. Tapi kalau saya priadi, lebih memilih yang bungkus plastik,” ujarnya.
Alasannya, menurutnya, tempe lapis plastik lebih bersih dan higienis. Sedangkan daun pisang, belum sepenuhnya, mengingat masih adanya tahapan sebelum daun pisang sampai ditangannya. Semisal, ada kotoran yang masih melekat saat proses pelipatan daun. Pun dengan pengelapan daun pisang, bisa saja hanya satu bagian saja. “Daun kami beli juga. Sebagian besar dari daerah Pengaron,” kata Endar.
Masuk dalam cetakan, proses pembuatan tempe masih harus menunggu satu hari lagi. Sembari menunggu hari keempat purna, pengecekan kedelai perlu dilakukan. Karena bukan tidak kemungkinan, kedelai tak ditumbuhi jamur yang salah satu penyebabnya suhu ruangan kurang cukup panas.
“Hari keempat, tempe siap dijual. Saya biasa membawanya ke Pasar Subuh Seku mpul. Dari sana, tempe yang saya produksi, juga warga Sumberadi lainnya yang berprofesi sama, diecer lagi oleh para pedagang sayur keliling,” kata Endar. (bersambung)