Tapak Kolonial di Perkebunan Tua Milik Negara

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Di atas Bukit, Empat Nippon Dikubur

klikkalimantan.com – PTPN 13 Kebun Danau Salak, di Kecamatan Mataraman, merupakan perkebunan tua peninggalan Kolonial Belanda. Pengelolaan perkebunan dengan komoditi utama karet ini, juga temurun saat negeri ini dijajah Jepang.

Salah satu bukti sejarah yang masih ada di perkebunan karet milik perusahaan plat merah warisan penjajah ini adalah sebuah komplek pemakaman tua di Afdeling Gunung Mas. Warga sekitar menyebutnya Kuburan Jepang.

Berada di sebuah bukit, di kelilingi tembok setinggi sekitar dua meter, di antara rimbun dedaunan pohon karet, empat nisan kubur berukuran cukup besar terlihat menyembul kokoh di antara belukar yang tumbuh subur.

Di keempat nisan yang terbuat dari cor semen itu tertulis aksara dalam bahasa Jepang. Di antara empat nisan itu, juga terlihat dua penanda kubur lain terbuat dari bilah kayu ulin yang tampak mulai lapuk dimakan usia.

Sebuah papan nama bertuliskan ‘Dipugar Tanggal 1 Desember 1992 oleh Bank Perdania Jakarta’ tertempel di tembok bagian depan yang juga menjadi pintu masuk areal makam berpagar tembok itu. ‘Kuburan Jepang’ begitu warga yang juga berprofesi sebagai buruh sadap karet di Afdeling 2 Gunung Mas, Kebun Selatan milik PTPN 13 Danau Salak ini menyebutnya.

Sayangnya, tak banyak catatan sejarah yang menjelaskan ihwal keberadaan komplek pemakaman bangsa Nipon tersebut. Tidak juga dari sang empunya perkebunan, PTPN 13 Danau Salak. Hanya sekelumit kisah yang terus temurun di tengah warga.

Cerita yang terkumpul dari warga sekitar, Komplek Kuburan Jepang tersebut merupakan tempat dimakamnya beberapa petinggi tentara Jepang yang tewas  dalam baku tembak dengan para pejuang saat Nipon menduduki Indonesia setelah masa penjajahan Belanda.

BACA JUGA :
Pemeriksaan Kesehatan dan Sosialisasi Bahaya Narkoba di Pertemuan Bulanan TP PKK

Versi lain tentang Kuburan Jepang terlontar dari Suyatno, salah seorang warga yang juga pensiunan karyawan PTPN 13 Danau Salak. Dikisahkannya, dari cerita turun temurun yang pernah ia dengar, yang dikuburkan di Komplek Kuburan Jepang adalah para pimpinan perusahaan yang mengendalikan jalannya roda perusahaan yang diambilalih Jepang dari Belanda.

Menurut Suyatno, di waktu-waktu tertentu, semisal perayaan hari besar keagamaan, ada saja yang datang menziarahi makam. Dari fisiknya, yang datang tampak seperti orang Jepang dan warga keturunan.

Puing Bangunan Peninggalan Belanda

Berjarak sekitar satu kilometer dari Kuburan Jepang di afdeling yang sama, puing bekas bangunan masa kolonial juga masih kokoh berdiri di antara pepohonan karet yang sudah beberapa kali diremajakan.

Dari bentuknya, puing berukuran ‘raksasa’ yang sudah menghijau karena lumut ini tampak seperti sebuah dinding bekas bangunan dengan bentuk kuncup di bagian atasnya. Dilihat dari ketebalannya, dapat dipastikan dulunya bangunan tersebut berukuran jumbo.

Menurut Suyatno,  puing tersebut dulunya adalah bangunan milik Belanda yang digunakan untuk menyimpan uang dan benda-benda berharga lainnya. Jika sekarang, bangunan itu sama dengan bank.

Karena bekas bangunan tempat penyimpanan uang dan benda berharga milik Belanda, konon banyak benda berharga tertimbun di antara puing bangunan tersebut.

Versi lain tentang puing tersebut, menurut Suyatno, bekas pabrik pengolahan karet yang dibangun Belanda. Selain bangunan pabrik pengolahan dan pengasapan karet, di lokasi puing tersebut dulunya juga berdiri bangunan perkantorannya.

Bukti jika itu bekas bangunan pabrik pengolahan karet, adanya beberapa bekas kolam atau bak berukuran besar yang digunakan sebagai wadah membekukan lateks –getah karet-.

Diceritakannya, sebelum lokasi pabrik pengolahan karet beserta perkantorannya dipindahkan ke lokasi sekarang, di Bawahan Selan, Kecamatan Mataraman, aktifitas produksi karet terpusat di areal puing tersebut yang secara teritori masuk wilayah Desa Danau Salak, Kecamatan Astambul.

BACA JUGA :
Melihat Resiliensi Industri Pengolahan ‘Kopi Jati’

“Tahun 1958 pabrik dipindah ke lokasi sekarang. Karena sebelumnya pabrik dan perkantorannya berada di Desa Danau Salak yang masuk wilayah Kecamatan Astambul, nama Danau Salak melekar sampai sekarang kendati lokasinya tak lagi berada di Desa Danau Salak,” kata Suyatno.

Nafas Belanda yang Masih Tersisa 

Sebagai salah satu, bahkan mungkin satu-satunya perkebunan tua peninggalan Belanda, nafas kolonial masih begitu terasa di PTPN 13 Kebun Danau Salak, di Kecamatan Mataraman ini.

Masih digunakannya penggalan-penggalan kata semisal afdeling, sinder, dan mandor, pertanda dominasi bangsa Belanda pernah begitu perkasa mengusai sektor perkebunan di areal lebih dari 10 ribu hectare ini.

Menurut Sarmin, afdeling merupakan sebuah wilayah administratif pada masa kolonial Belanda setingkat Kabupaten. Sedangkan di sektor perkebunan, afdeling merupakan pembagian administratif di satu perkebunan.

Yang juga tak lekang di PTPN 13 Danau Salak adalah penggunaan kata mandor untuk para pengawas kebun. Satu afdeling umumnya ditempatkan banyak mandor. Para mandor itu bekerja dibawah komando seorang sinder atau yang kini disebut asisten kebun.

Penggalan atau penggunaan kata dalam bahasa Belanda tersebut menjadi penanda khusus, sekaligus pembeda dengan perusahaan-perusahaan yang berdiri selepas masa kolonial. Di pulau Jawa, istilah-istilah sama juga digunakan di perusahaan-perusahaan gula yang juga peninggalan Belanda. (rudiyanto)

 

Scroll to Top