IPM Kabupaten Banjar Stagnan di Peringkat 10 se-Kalimantan Selatan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
SANTRI - Santri tingkat Wustho di Pondok Pesantren Darussalam Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Sebagai sebuah kearifan lokal, lebih banyak warga Kabupaten Banjar menuntut ilmu di pondok pesantren ketimbang pendidikan formal. Hal itu disebut-sebut sebagai penyebab rendahnya indeks pendidikan di Kabupaten Banjar. (foto: dok/klik)

klikkalimantan.com – Peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Banjar stagnan sejak awal masa kepemimpinan Bupati H Khalilurrahman bersama wakilnya, H Saidi Mansyur. Berada di peringkat 10 dari 13 kabupaten/kota se-Kalimantan Selatan.

Padahal di 2015, peringkat IPM Kabupaten Banjar sempat di peringkat 9. Namun merosot setingkat di 2016, yang merupakan tahun awal masa kepemimpinan H Khalilurrahman – H Saidi Mansyur. Peringkat IPM yang tak berubah hingga jelang akhir masa kepemimpinan.

“2018, IPM Kabupaten Banjar masih di peringkat 10,” kata Galuh Tantri Narindra, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Penelitian dan Pengembangan (Bappelitbang) Kabupaten Banjar ditemui klikkalimantan.com, Jumat pekan kemarin.

Kendati secara peringkat di posisi 10, namun Tantri menyebutkan, secara nilai IPM di Kabupaten Banjar terus meningkat. Penempatan peringkat menurutnya hanya sebatas persentase berdasarkan parameter yang diterapkan general pemerintah pusat melalui Badan Pusat Statistik (BPS).

Diakuinya, dari tiga parameter yang ditetapkan BPS, pendidikan yang masih pelik dihadapi. Karena BPS menghitung indeks pendidikan berdasarkan pendidikan formal. Sedangkan di Kabupaten Banjar, banyak masyarakat justru menempuh pendidikan non formal. “Sehingga angka partisipasi kasar dan angka partisipasi murni rendah,” ujarnya.

Ditambah lagi sejak 2018, kata Tantri BPS mengubah parameter perhitungan indeks pendidikan. Dari yang semula hanya angka melek huruf, sekarang dihitung berdasarkan angka harapan sekolah dan rata-rata lama sekolah.

Dikatakan Tantri lebih lanjut, bersama dinas pendidikan, saat ini sedang mendorong agar kearifan lokal bisa dipertimbangkan sebagai parameter dalam indeks pendidikan. Bahkan ia berkeras akan menyusun parameter sendiri untuk disandingkan dengan parameter yang bibuat BPS.

“Kan tidak mungkin seorang yang belajar di pondok pesantren disebut tidak berpendidkan. Tidak boleh itu. Apalagi Kabupaten Banjar merupakan barometer pendidikan agama di Kalimantan,” kata Tantri.

BACA JUGA :
Duh, HET Minyak Goreng Dicabut Jelang Ramadhan

Menurutnya paremeter penilaian indeks pendidikan sebagai pembentuk komponen dalam IPM, dibikin pemerintah pusat untuk megenarilisasi seluruh daerah di Indonesia. Padahal setiap daerah memiliki kearifan lokal masing-masing yang tidak bisa dipukul rata.

Namun demikian, diinginkan atau tidak, IPM sampai saat ini menjadi tolak ukur keberhasilan pembangunan daerah yang terbentuk dari tiga paramater; kesehatan yang direprestasi dari Angka Harapan Hidup (AHH), pendidikan yang diwakili dua parameter; angka harapan sekolah, atau Expected Years of School (EYS) dan rata-rata lama sekolah atau Mean Years of Schooling (MYS), dan aspek ekonomi yang terwakili oleh pendapatan perkapita masyarakat. (to/klik)

Scroll to Top