klikkalimantan.com, MARTAPURA – Terhitung sejak awal Desember 2020 lalu, terdata sebanyak 13 desa di Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar, terendam banjir dengan ketinggian air bervariasi mulai dari 50 Cm hingga 150 Cm.
Di sisi lain, dari total 18.500 jiwa lebih penduduk Kecamatan Martapura Barat, sekitar 14.600 jiwa penduduk yang terdampak langsung bencana banjir terpaksa mengungsi. Lebih dari 4.000 unit rumah warga di 13 desa, dengan jumlah lebih dari 5.628 Kepala Keluarga (KK) terendam banjir, hingga menenggelamkan Jalan Protokol Martapura Lama.
“Karena jalan protokol terendam air banjir dengan ketinggian bervariasi, selama 23 hari warga kami terisolir. Untungnya, sejumlah relawan, Kepolisian, dan TNI, membantu kami untuk melakukan evakuasi bagi warga yang terisolir, serta menyalurkan sejumlah bantuan,” ujar Camat Martapura Barat, Sumardi, pekan pertama Februari ini.
Dari 14.600 jiwa penduduknya tersebut, lanjut Sumardi, sekitar 7.000 jiwa terpaksa mengungsi di luar wilayah Kecamatan Martapura Barat. Sisanya, mengungsi di tempat-tempat tinggi seperti jalan dan jembatan, dan sekitar 1.000 jiwa lebih mengungsi di teras kantor kecamatan yang sudah dibangunkan tenda oleh instansi terkait.
“Saat ini ketinggian air sudah berkurang dan ruas jalan pun dapat dilewati, meskipun masih ada di beberapa titik ruas jalan yang terendam banjir, seperti di depan kantor Polsek Martapura Barat yang kondisi jalannya masih terendam air dengan ketinggian 50 Cm,” bebernya.
Kendati ketinggian mulai surut, namun Camat Martapura Barat menyatkan pihaknya masih belum dapat memperkirakan berapa total kerugian akibat bencana banjir. Mengingat, sejumlah fasilitas umum dan rumah warga masih ada yang terendam banjir.
“Untuk total kerugian masih proses pendataan. Yang jelas, hampir semua gabah padi milik warga terendam banjir. Seperti di Desa Penggalaman saja, terdata sekitar 10.000 belek gabah padi terendam banjir. Dari jumlah tersebut dipastikan sekitar 300 – 400 belek gabah padi tidak dapat diselamatkan,” jelasnya.
Menanggapi perihal tersebut, Eddy Hasby selaku Kepala Dinas Ketahan Pangan (Ketapang) sekaligus Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Tanaman Pangan Holtikultura (DTPH) Kabupaten Banjar mengatakan, dari 19 kecamatan yang terdampak banjir, 9 kecamatan diantaranya, yakni Kecamatan Mataraman, Astambul, Karang Intan, Martapura, Martapura Timur, Martapura Barat, Sungai Tabuk, Kecamatan Gambut, serta Kecamatan Aluh Aluh yang merupakan wilayah sentra produksi padi Kabupaten Banjar semuanya terdampak banjir.
“Saat ini saja, untuk jumlah persemaian yang terdampak banjir terdata seluas 11.456 hektare atau setara dengan 114.567 Kg benih padi. Benih yang puso (mati) terdata lebih dari 3.607 hektare atau setara dengan 36.072 Kg benih. Kalau kita taksasi, kerugiannya mulai dari pembibitan, biaya usaha tani, mencapai sekitar Rp14,8 Miliar, belum termasuk hal lainnya,” ucapnya, Senin (8/2/2021) kemarin.
Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, pihaknya telah melakukan berbagai upaya. Salah satunya mengajukan usulan penanggulangan masalah pertanian untuk jangka pendek. Yakni mengajukan usulan agar gabah petani yang berhasil diselamatkan dibeli pemerintah dan dikeringkan sebagai stok cadangan beras Kabupaten Banjar.
“Dengan begitu, perekonomian petani kita yang terdampak banjir dapat terbantu. Mudah-mudahan dana tanggap darurat masih ada, dan instansi terkait juga menyetujuinya. Kita juga mengajukan usulan untuk jangka panjangnya, yakni mengajukan usulan untuk pengadaan penggilingan dan pengeringan gabah padi yang nantinya kita bangun di tiga tempat yang memiliki dataran tinggi. Tapi, ini masih berupa usulan yang akan kita ajukan ke Kementerian,” katanya.
Usulan alat penggiling yang terintegrasi dengan alat pengering gabah dan bangunannya, yang ditaksir sekitar Rp1,5 Miliar tersebut, dinilai Eddy sebagai salah satu solusi ampuh untuk jangka panjang dalam menanggulangi gabah padi yang terendam saat banjir melanda. Mengingat, dalam satu kali operasi sekitar 10 ton padi terendam banjir dapat diproses. Sehingga, peristiwa banyak didapati di kiri-kanan ruas jalan, seperti ruas Jalan Martapura Lama berjejer gabah padi milik petani yang terendam banjir dapat teratasi.
“Kalau gabah normal, biasanya hanya membutuhkan waktu 8 jam untuk memprosesnya. Kalau gabah padi yang sudah terendam, mungkin membutuhkan waktu sekitar 15 jam. Kita juga mengusulkan program GEROBAK (Gerakan Operasional Aksi Penangan Gabah Petani) yang bergerak secara mobile,” tuturnya.
Dengan upaya tersebut, papar Eddy, ketika bencana banjir terulang dan pabrik terdekat terendam banjir, petani tetap dapat mempabrik gabah padi mereka, sehingga peristiwa kekurangan stok pangan saat banjir dan masalah gabah terendam setidaknya dapat ditanggulangi.
“Tapi, usulan ini juga masih dalam kajian kita. Selain akan mengajukan usulan, kita pun akan merelokasi sumber dana dari APBN yang ada untuk daerah yang terdampak banjir, seperti bantuan pupuk dan benih untuk lokasi yang sudah dapat ditanami. Kemungkinan, masa tanaman yang mestinya di Februari akan bergeser ke Mei 2021 nanti. Tapi, stok cadangan beras kabupaten masih aman, namun terjadi pengurangan pada indeksnya, yang mestinya cukup 1,5 tahun, bisa jadi hanya cukup sampai 1,2 tahun saja,” pungkasnya.(Zai/klik)