Sumringah di Tengah Ladang Sawi, Hanya Penggarap Tidak Memiliki
Oleh: Rudiyanto
Sementara sinar mentari masih tertahan di balik mendung, Wiwik dan suaminya, Sukatno sudah berjibaku di antara ranum tanaman sawi dan kangkung siap panen di ladang sayur, Jalan Sukamara, Kelurahan Landasan Ulin Utara, Kecamatan Liang Anggang, sekitar pukul tujuh pagi.
Menggunakan sebilah pisau kecil, satu per satu batang sawi dipotong dan dikumpulkan di satu tempat, di atas gundukan tanah berwarna pekat. Sembari terus memotong batang sawi, raut wajahnya tampak cukup sumringah. Itu lantaran harga sawi cukup lumayan sejak musim kemarau tadi. “Satu ikat berisi 10 batang Rp12.000,” kata Wiwik ditemui klikkalimantan.com belum lama tadi.
Diakuinya, sejak musim kemarau lalu, harga semua jenis sayuran cenderung naik. Dan Rp12.000 untuk satu ikat sawi, termasuk yang paling tinggi. Namun diperkirakan, harga harga tersebut akan berangsur turun. Karena di saat musim penghujan, hasil panen petani melimpah, harga sawi pernah hanya Rp800 per ikatnya.
Tak semua petani menggarap lahannya saat musim kemarau, kata Wiwik, berimbas pada penurunan kuantitas hasil panen. Dampaknya, harga jual melambung. Biaya operasional dan perawatan yang berkali-kali lipat dibanding saat musim penghujan, menjadi pertimbangan berat petani menggarap lahannya.
Penyiraman misalnya, sedikitnya dilakukan lima kali dalam sehari. “Meski kemarau, sumur di ladang masih ada airnya. Yang tidak selalu ada adalah ongkos untuk menyedotnya,” ujar Wiwik.
Dalam satu kali panen, pendatang asal Purwodadi, Jateng ini memanen hingga 300 ikat sawi. Selain sawi, yang juga dipanen beriringan di atas lahan seluas satu hectare itu, kangkung, bayam, dan kemangi. Sementara kacang panjang, dan terong dipanen setelahnya. Itu lantaran, masa tanam yang lebih panjang.
Kendati harga jual sawi saat ini sedang tinggi, namun hasil panen dirasa tak serta merta berbanding lurus dengan penghasilan yang didapat. Itu karena, biaya operasional yang juga meningkat pada musim tanam di bulan kemarau. Ditambah lagi, lahan seluas satu hentare yang diagarap milik orang lain.
“Sejak tahun 1999 sudah bertani sayur tapi bukan lahan milik sendiri. Kalau menggarap lahan pribadi hasilnya tentu akan lebih lumayan,” kata Wiwik tanpa menyebutkan total penghasilan tiap kali panen dan bagi hasilnya untuk pemilik lahan.
Karena hanya sebagai petani penggarap, Wiwik dan suaminya tentu juga harus sudah siap jika suatu saat sang empunya lahan mengambil haknya. “Kalau yang punya ingin menjualnya, ya kami harus tinggalkan ladang ini,” katanya.
Satu nasib dengan Wiwik dan Sukatno, yang harus siap hengkang dari atas lahan karena hanya menjadi petani penggarap lahan orang lain adalah Wagiyo, petani penggarap lahan milik PT Angkasa Pura, di Jalan Kurnia, Kelurahan Landasan Ulin Utara.
Dari sekitar tujuh borong lahan –satu borong 17×17 meter- Wagiyo mengaku dapat memanen hingga ratusan ikat sawi. Hasil panen biasanya langsung dibawa ke Pasar Landasan Ulin untuk dijual.
Jika hasil panen sedang baik, kata Wagiyo, tak hanya sawi tapi juga sayuran lain, biasanya langsung dibeli pengumpul di rumah. Sebagian tetap dijual sendiri langsung ke pasar. Menurutnya, kalau di jual sendiri tidak akan habis dalam satu dua hari. Jika tak habis, justru akan rugi karena sayuran membusuk.
Tak hanya sawi, di atas total lahan sekitar tujuh borong yang ia garap milik PT Angkasa Pura I itu, juga ditanami jenis sayuran lain. Seperti, bayam, jagung, kacang panjang, terong dan cabai.
Meski hanya sebagai petani penggarap, wagiyo tetap bersyukur karena sang empunya lahan, PT Angkasa Pura I masih mengijinkan ia dan puluhan warga lain menggarap lahan tanpa harus membayar ongkos sewa sepeserpun.
Menurutnya, keberadaan petani penggarap lahan milik PT Angaksa Pura berdampak positif karena lahan terawat. “Karena kalau tidak digarap petani, tanahnya justru habis dikeruk orang dan dijual untuk medium tanaman dalam pot,” katanya. (bersambung)