Klikalimantan.com, Banjarbaru – Konflik lingkungan dan sumberdaya alam masih banyak terjadi di Kalimantan Selatan. Konflik itu akan muncul apabila terjadi perebutan sumberdaya antara dua atau beberapa pihak, antara pihak yg satu dan pihak yang lain dimana salah satu pihak merasa sumberdaya yang dikuasainya telah terancam oleh pihak yg lainnya. Masing-masing pihak merasa telah menguasai sumberdaya tersebut berdasarkan dengan versinya.
Menjawab tantangan tersebut, Perkumpulan Tenaga Ahli Lingkungan Indonesia yang kemudian disingkat menjadi Pertalindo, dimana sudah didirikan di beberapa provinsi di seluruh Indonesia termasuk Provinsi Kalimantan Selatan terus bergerak dan bersinergi untuk lingkungan hidup yang lebih baik.
Sekretaris Pertalindo Kalimantan Selatan, DR Murjani memaparkan, salah satu contoh yang sering terjadi adalah konflik sumberdaya alam antara masyarakat vs korporasi, masyarakat vs pemerintah, atau masyarakat vs pemerintah dan korporasi.
“Namun dalam hal ini dari kebanyakan kasus konflik tersebut, yang menjadi objek dan cenderung dalam posisi yang ‘lemah’ adalah masyarakat,” ujarnya usai Raker DPP Pertalindo Kalsel 2021-2024, di Banjarbaru akhir pekan tadi.
Raker itu sendiri dihadiri DP Nasional Pertalindo, Anggota DP Kalimantan Selatan. Ada juga perorangan yang beriorientasi terhadap lingkungan hidup dan perorangan tenaga ahli lingkungan hidup baik yang sudah bersertifikasi maupun yang belum bersertifikasi (KTPA/ATPA) yang berpotensi masuk menjadi anggota.
Lebih jauh, Murjani menjelaskan, dalam rapat kerja tersebut pihaknya membahas sikap pihak-pihak yang merasa terancam.
“Tentu mereka akan melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan milik nya. Muncullah gerakan bersama untuk melakukan upaya-upaya mempertahankan sumberdayanya itu,” katanya.
Gerakan masyarakat juga disebut gerakan sosial jelasnya lebih jauh, pada awalnya muncul saat dominasi korporasi thd para buruh nya. Gerakan sosial itu dari waktu ke waktu mengalami perubahan dan perkembangan.
Semua itu sebutnya merupakan tantangan yang tidak mudah dihadapi. Bagi para tenaga ahli lingkungan hidup di Indonesia secara nasional, tantangan itu antara lain, standar regulasi, beberapa kabupaten kota/Provinsi masih banyak belum menetapkan sendiri; billing rate (TA maupun biaya pengerjaan amdal) sehingga terjadi konsultan banting harga yang ber efek kepada kualitas dokumen; Peningkatan kompetensi, (kemudahan akses literasi, penyelenggaraan masih terbatas, biaya); Kesenjangan antara jumlah TA tersertifikasi dengan TA yang real incharge di kajian lingkungan.
“Sehingga TA yang tidak Incharge tersebut sulit melakukan perpanjangan sertifikasinya. Masih banyak lagi tantangan lain yang harus dihadapi. Demikian pula tantangan-tantangan yang bersifat regional maupun lokal, yang kesemuanya harus mampu dijawab oleh Pertalindo dan tertuang dalam visi dan misi Pertalindo secara nasional,” paparnya.(kus)