Oleh Almin Hatta
AGUSTUS 1940, Leon Trotsky meninggal dunia. Beberapa hari sebelum ajal menjemputnya, tokoh komunis Sovyet itu duduk di depan meja di dalam kamarnya. Ia seakan sengaja menuliskan sejumlah wasiat untuk siapa saja yang sudi membacanya.
Saat itulah istrinya masuk, lalu membuka jendela kamar kerja suaminya itu lebar-lebar. Maka tampaklah di kejauhan hamparan hijau rerumputan sejauh mata memandang dengan batas langit biru menawan. Matahari bersinar terang.
Menyaksikan semua itu, Trotsky pun mengguratkan sejumlah kalimat pada selembar kertas di atas meja tulisnya.
“Hidup ini indah,” tulisnya. ”Biarlah generasi masa depan membersihkannya dari kejahatan, penindasan, kekerasan, dan menikmatinya sepenuh-penuhnya,” sambungnya.
Kita tak pernah tahu, kapan “masa depan” yang dimaksudkan Trotsky dalam tulisannya menjelang akhir hayatnya itu. Apakah 10 tahun setelah kematiannya? Apakah 20 tahun berikutnya, atau 50 tahun kemudian?
Yang pasti, sekarang kita sudah memasuki tahun 2022. Artinya, sudah lebih 80 tahun Trotsky pergi untuk selamanya. Lalu, adakah kejahatan, penindasan, dan kekerasan, sudah bersih dari hadapan kita sehingga kita bisa mereguk nikmatnya kehidupan sepuas-puasnya, sebagaimana harapan Leon Trotsky yang tewas dibunuh dengan kapak itu?
Boleh jadi, sebagian dari kita sudah berulang kali berenang dalam lautan kenikmatan dunia yang memabukkan. Boleh jadi pula, sebagian dari kita justru tenggelam dalam samudera penderitaan yang tak berkesudahan.
Tapi, yang pasti, kejahatan, penindasan, dan kekerasan, dari hari ke hari, dari minggu ke bulan, dan bahkan berbilang tahun, malah kian mencengkeram segenap sendi kehidupan.
Masalahnya adalah, ada sejumlah orang yang meraih kenikmatan dengan melakukan tindak kekerasan. Ada sebagian orang yang menggapai kenikmatan dengan cara menindas lain orang. Dan, ada sebagian orang yang merengkuh kenikmatan melalui jalan kejahatan.
Karenanya, yang lahir kemudian adalah: sebagian orang berhasil mereguk madu kenikmatan, tapi bersamaan dengan itu ada banyak orang yang justru ketiban penderitaan.
Kalau demikian halnya, kapan pindasan dan kekerasan bisa sirna dari kehidupan? Jawabnya adalah: tak akan pernah! Kecuali semua orang sudah menyadari bahwa kenikmatan hidup yang hakiki bukanlah terletak pada kekayaan dan kekuasan, melainkan pada kedamaian.
Ya kedamaian, sebagaimana halnya suasana di sekitar Trotsky menjelang kematiannya. Kedamaian hamparan hijau rerumputan sejauh mata memandang dengan batas langit biru menawan, yang kemudian membuatnya berucap pelan, “Hidup ini indah.”***