Digelari Pangeran Ulama Berjubah Kuning
KLIKKALIMANTAN, Pusara Pangeran Hidayatulah di Bukit Joglo, Kelurahan Sawah Gede, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Sabtu 24 November 2017 dipadati peziarah. Mereka yang datang hari itu sebagian besar merupakan para zuriat. Sebagian jemaah yang lain adalah para santri dan anak yatim dari beberapa pondok pesantren panti asuhan di bawah naungan Yayasan Hidayatullah yang ada di Kabupaten Cianjur.
Tak sekadar untuk berziarah, mereka yang datang hari itu juga untuk mengikuti prosesi Haul ke-113 Sultan Hidayatullah yang merupakan pemimpin terakhir Kesultanan Banjar ini. Hadir pula pada peringatan haul tahun ini, Bupati Banjar H Khalilurrahman bersama istri, Hj Raudatul Wardiyah dan beberapa kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lingkup Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banjar.
Bersama para keturunan Pangeran Hidayatulah yang ada di Cianjur, H Khalilurrahman memimpin jalannya prosesi haul yang terbilang cukup sederhana dengan pembacaan Surah Yasin, tahlil, doa, dan tabur bunga di atas pusara.
Meski tak dimakamkan di tanah Banjar, Pangeran Hidayatullah, menurut H Khalilurrahman, salah satu sosok yang tetap harus dikenang warga Banua. Tak hanya sebagai sosok yang alim, Pangeran Hidayatullah yang juga Sultan Banjar ini juga pejuang yang gigih melawan Belanda dengan semboyan ‘Waja Sampai Kaputing’.
Semangat perlawanan yang dikobarkan Pangeran Hidayatullah membuat Belanda gelabakan dan mencari akal untuk dapat menangkapnya. Hingga akhirnya, Belanda menemukan akal liciknya dan mengabarkan, ibunda Pangeran Hidayatullah, Ratu Siti telah ditangkap dan akan digantung.
“Karena itulah Pangeran Hidayatullah turun dari Gunung Pamaton dan berhasil ditangkap dan dibawa ke Batavia. Dari Batavia, beliau lalu diasingkan di Cianjur,” ujar H Khalilurrahman yang mengaku senang dapat sampai ke makam Pangeran Hidayatullah dan bersilaturahmi dengan para keturunannya.
Senada, Pangeran Yusuf Iskandar, zuriat keempat dari Pangeran Hidayatullah mengatakan, kabar ditangkapnya ibunda, membuat Pangeran Hidayatullah tak punya alasan tetap bertahan di Gunung Pamaton yang waktu itu menjadi benteng pertahanan. Karena tak hanya mengabarkan penangkapan ibunda, Belanda juga mengancam akan menggantung dan memutilasi.
“Terkenal waktu itu, para pejuang Banjar yang tertangkap tak hanya digantung berhari-hari. Tapi juga dimutilasi. Tak ingin itu terjadi pada ibunda, Pangeran Hidayatullah turun gunung dan berhasil ditangkap,” kata Yusuf.
Setelah ditangkap, kata Yusuf, Pangeran Hidayatullah dibawa ke Banjarmasin. Dari Banjarmasin, bersama ibunda, Ratu Siti dan sejumlah pejuang Banjar lainnya, Pangeran Hidayatullah dibawa ke Batavia lalu diasingkan ke Cianjur.
Di tanah pengasingan, Pangeran Hidayatullah menyebarluaskan ajaran Islam, ilmu yang didapatnya semasa belajar dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari di Kalampayan sebelum pecahnya Perang Banjar di tahun 1859.
“Di Cianjur banyak pondok pesantren yang didirikan Pangeran Hidayatullah. Warga Cianjur menggelarinya Pangeran Ulama Berjubah Kuning karena jasanya menyebarluaskan Islam. Sempat ada wacana memindah makam ke Kalimantan, namun warga Cianjur tak membolehkannya,” kata Yusuf. (to/klik/bersambung)