Melihat Eksistensi Pengolahan Jaring dan Lalaan di Desa Pingaran (2)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
MELALA - proses membuat lalaan dari santan kelapa di Desa Pingaran ulu, Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.

Langgengnya usaha pengolahan jaring dan lalaan yang dilakoni HM Syahrawi dan mayoritas warga dua desa di Kecamatan Astambul; Desa Pingaran Ulu dan Pingaran Ilir yang termurun sejak puluhan tahun silam bukan berarti tanpa terpaan gelombang. Terutama ketersediaan bahan baku utama; jaring dan kelapa.

Tak lekang dari ingatan Syahrawi 25 tahun silam kala pertama ia memulai usaha pengolahan jaring dan lalaan sebagai industri rumahan di RT 4, Desa Pingaran Ilir. Kala itu, jaring masih melimpah. Jaring di pasok dari sejumlah desa di sekitar tempat tinggalnya. Desa Biih di Kecamatan Karang Intan menjadi pemasok utama jaring kala itu. “Harganya kala kala itu masih Rp25 ribu per kaleng yang berisi 20 liter, atau setara 14 Kilogram,” katanya.

Namun seiring waktu, pasokan jaring dari Desa Biih dan beberapa desa lain di Kecamatan Karang Intan terus berkurang. Untuk tetap dapat melanjutkan usaha pengolahan jaringnya, jaring terpaksa dipasok dari daerah lain yang lebih jauh. Di antaranya beberapa desa di Kecamatan Aranio, Pasar Panas di Kecamata Sungai Pinang, dan dari Lokasado di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Ada juga jaring yang didatangkan pemasok dari daerah Kalimantan Barat

“Sampai dengan tahun 2000-an sebagian besar jaring masih dipasok dari sejumlah desa di wilayah Kabupaten Banjar. tapi setelahnya, jaring juga didatangkan dari luar Kabupaten Banjar. termasuk dari Kotabaru,” kata H Syahrawi.

Banyaknya pohon jaring yang ditebang untuk dibuat papan, lebih banyak lagi yang ditebang pemilik lahan diganti dengan pohon karet, menurut pria parobaya ini, menjadi faktor utama jaring kian langka di desanya, juga desa-desa yang semula menjadi pemasok utama jaring. Alhasil, jaring harus ddatangkan dari daerah yang lebih jauh.

BACA JUGA :
‘Kota Pendidikan’, Dapodik di Banjarbaru Belum Beres

Jauhnya jarak tempuh taktis membuat ongkos kirim para pemasok jaring meningkat. Ujung-ujungnya harga jaring yang dibeli para pengolah jaring, termasuk Syahrawi melambung. Dari yang awalnya hanya Rp25.000 per kaleng, kini hingga Rp170 ribu – Rp200 ribu per kaleng.

Untuk membeli jaring sebanyak dua kaleng saja, saat ini Syahrawi harus merogoh modal rata-rata sebesar Rp400 ribu per hari. “Tergantung ukuran, juga tua atau tidaknya jaring. Yang besar dengan masa panen buah lima bulan di pohon harganya kini Rp200 ribu. Yang kecil Rp170 ribu,” ujar Syahrawi sembari menunjukkan buah jaring kategori ukuran buah besar.

Sama halnya dengan jaring yang kian sulit didapat, pun dengan harga yang kini selangit, kelapa yang menjadi bahan utama membuat lalaan juga kian mahal. Padahal dalam sehari, Syahrawi mengaku rata-rata per hari memerlukan sebanyak 150 butir kelapa untuk menghasilkan 20 liter lalaan atau setara dengan 14 Kilogram.

Dengan harga per butir kelapa saat ini Rp2.500, dalam sehari Syahrawi tentu perlu menyiapkan modal tambahan sebesar Rp375.000. Untungnya, kayu yang juga komponen utama dalam proses pengolahan jaring dan lalaan,Syahrawi tak perlu beli. “Kayu saya cari sendiri. Kalau kayu harus beli tentu modal yang diperlukan semakin banyak,” katanya.

Ongkos kirim kelapa yang saat ini mayoritas dipasok dari daerah hulu Barito di Kalteng, menurutnya, membuat harga kelapa tak kalah selangitnya dengan harga jaring. Di banding dulu yang hanya sebutirnya Rp1.000-1.500.

Di  tengah kian sulitnya mendapatkan bahan baku; jaring dan kelapa, Syahrawi menyuarakan, mestinya ada campur tangan  aparat pemerintah, baik dari tingkat desa hingga kabupaten untuk keberlangsungan usaha rumahan pengolahan jaring dan lalaan di Desa Pingaran Ilir dan Ulu. Karena selama ini, pelaku industri rumahan ini berjalan sendiri tanpa papahan tangan pemerintah.

BACA JUGA :
Meski Kasus Stunting Rendah, Banjarbaru Tetap harus Waspada

“Mestinya ada koperasi yang khusus mengadakan bahan baku pengolahan jaring dan lalaan. Apalagi saat ini harga jaring dan  kelapa kian mahal. Tapi kami tak punya pilihan selain berharap di pemasok yang teradang mengambil untung dari ongkos kirim yang tak jarang lebih mahal ketimbang harga beli jaring dan kelapa dari tangan petaninya,” kata Syahrawi menyemat harap.

Melihat fakta itu, industri rumahan pengolahan jaring dan lalaan bukan tidak mungkin suatu masa akan hilang seiring bahan baku yang kian sulit didapat.

Meski begitu, Dondit Bekti, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Banjar tetap optimis industri pengolahan panganan jaring dan lalaan akan tetap langgeng. Kendati benar tak sedikit pohon jaring yang telah tumbang, semangat menanam kembali pohon jaring warga tetap ada.

Disinggung pengambangan dan penanaman pohon jaring skala besar di bawah pengawasan Dinas Perkebunan dan Peternakan, Dondit Bekti menyampaikan tak mungkin dapat dilakukan. Itu karena jaring bukan komoditi unggulan untuk dikembangkan.

Kendati faktanya diakui Dondit, harga jua jaring saat ini mencapai Rp200 ribu per kaleng, setara dengan 20 liter atau 14 kilogram. “Bukan komodisiti unggulan. Jadi tidak mungkin dikembangkand negan pola perkebunan. Namun jaring bagi masyarakat lokal sudah sangat lekat. Jadi dengan sendirinya, jaring tetap akan ditanam warga,” ujar Dondit optimis. (rudiyanto)

 

Berita Terbaru

Scroll to Top