klikkalimantan.com – Sejak puluhan tahun silam, Desa Bincau di Kecamatan Martapura, dan beberapa desa tetangganya, Desa Tabu, dan Jinggah Habang, terkenal sebagai sentra penghasil bunga, khususnya melati.
Di sepanjang kiri dan kanan jalan di tiga desa ini, tanaman melati tumbuh subur di ladang dan pekarangan rumah warga. Selain melati, yang juga banyak ditanam warga dan tumbuh subur, mawar dan kenanga.
Hasil panen melati yang melimpah di sepanjang tahun, tak ayal mewarnai denyut utama perekonomian warga memang sebagain besar berprofesi petani. Selaian dijual langsung untuk banyak keperluan, hasil panen melati juga telah menciptakan peluang usaha lain sebagai industri turunannya.
Salah satunya adalah usaha meronce atau merajut melati seperti yang digeluti kelurarga Hj Sampurna. “Umumnya, sebagai pelengkap riasan pengantin, bemandi-mandi tujuh bulanan, payung kambang, pita, dan kalung yang biasanya digunakan untuk menyambut tamu pejabat,” kata Hj Sampurna klikkalimantan.com, akhir pekan kemarin.
Di desanya, Hj Puna, begitu perempuan 58 tahun ini akrab disapa, termasuk generasi kedua setelah orangtuanya. Kemampuannya merajut melati dengan tali diperoleh langsung dari orangtuanya yang sebelumnya sudah lebih dulu ahli meronce melati.
Dikisahkan Hj Puna, sebelum dapat meronce melati, orangtuanya hanya pengumpul melati dari warga yang dijual lagi ke Banjarmasin. Mayoritas pembeli melati di Banjarmasin adalah perangkai bunga yang lazim dikenakan sebagai aksesoris pasangan pengantin.
Dari para perangkai bunga di Banjarmasin itulah, orangtua Hj Puna belajar hingga mahir merangkai bunga sendiri. Berbekal ilmu dari para perajin di Banjarmasin, usaha merangkai bunga dirintis.“Dari orangtua, temurun ke saya dan anak-anak saya,” kata Hj Puna.
Karena sebagai salah satu perintis usaha perangkai bunga, pesanan tak henti berdatangan, khususnya dari para pemilik usaha rias pengantin. Meski saat ini, telah banyak warga di desanya menggeluti usaha yang sama.
Bahkan di bulan-bulan tertentu yang diyakini baik untuk menggelar walimah pernikahan, semisal Rajab dan Rabiul Awal dalam kalender Islam, Hj Puna rutin kebanjiran pesanan. Untuk memenuhi semua pesanan, ia lazim mempekerjakan warga di sekitar rumahnya, utamanya kaum perempuan.
“Selain dua bulan itu, saban hari memang ada saja pesanan, tapi rata-rata hanya dua pesanan. Apalagi saat ini sudah banyak warga yang bisa merangkai melati seperti ini,” kata Hj Puna.
Untuk satu set rangkaian melati yang dikenakan sepasang pengantin, Hj Puna menyebutnya sepajak, dibandrol sampai dengan Rp400 ribu. Harga itu tergantung harga beli melati dari para petani melati.
“Harga satu gelas melati saat ini Rp7.000. Tapi di bulan-bulan tertentu seperti Syakban, Ramadhan hingga lepas Idul Fitri, harga kembang biasanya mahal. Tak terkecuali melati. Karna saat ini banyak warga menggunakan kembang untuk ziarah kubur,” katanya.
Menurutnya, saat stok melati menipis di kalangan petani, harga satu gelas melati yang masih kuncup mencapai Rp20.000. sedangkan untuk menyelesaikan satu sepajak aksesoris pengantin, llengkap dengan selendangnya, diperlukan hingga 20 gelas melati.
Untuk menutupi tingginya harga beli melati yang sedang mahal, Hj Puna tak punya pilihan lain kecuali juga menaikkan ongkos pemesanan untuk para pelanggannya hingga dua kali lipat. Kendatai begitu, para pelanggannya tak lantas kehilangan pelanggan. “Idealnya memang memiliki kebun sendiri,” katanya.
Hingga kini, para pesanan rangkaian melati tak hanya datang dari Martapura dan sekitarnya. Tapi juga dari banyak daerah di luar Kabupaten Banjar, seperti banyak daerah di Hulu Sungai, Kotabaru, hingga Tanah Bumbu. Bahkan hingga daerah di perbatasan Kalimantan Timur.
***
Denyut ekonomi mikro dari tak hanya terasa di rumah-rumah warga yang menggunakan melati sebagai bahan utama meronce aksesoris pelengkap rias sepasang pengantin, tapi juga terasa di ladang dan pekarangan tempat melati ditanam.
Ya, dari tengah ladang melati itulah, rotasi mendapatkan rupiah berpusat. Dari pemilik ladang yang menjual kuncup-kuncup melati untuk para perajin perangkai bunga, seperti Hj Puna, juga warga yang mendapat upah dari memetik bunga.
Nasiah (60) dan Sairi (18) dua warga Desa Labuan Tabu diantaranya. Dari tiap gelas melati yang berhasil dipetik, mereka mendapat upah Rp500.
Tiap kali petik, Sairi dapat memetik hingga 30 gelas kuncup melati. Atau jika dikalkulasi dengan ongkos petik, ia dapat membawa pulang uang sebesar Rp15.000. “Paling landau jam sepuluh selesai,” katanya.
Jika dalam satu kali petik, Sairi dengan fisiknya yang masih muda mampu memetik hingga 30 gelas melati, namun Nasiah yang telah renta hanya mampu mengumpulkan maksimal 15 gelas melati. Atau dengan kata lain, Nasiah hanya dapat mengumpulkan uang separo dari yang dihasilkan Sairi.
Kendati begitu, Nasiah mengaku tetap bersyukur. Setidaknya di tengah usianya kini, ia masih mampu mencari nafkah sendiri tanpa harus menengadah tangan pada anak-anaknya. “Patuh begawi, jadi ketimbang hanya diam di rumah lebih baik ikut memetik melati,” kata Nasiah. (rudiyanto)