klikkalimantan.com – Dari tiga parameter pembentuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pendidikan menjadi yang terburuk di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Maidi Armansyah, Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Banjar mengakui itu.
Menurutnya, sejak beberapa tahun lalu, pemerintah pusat melalui Badan Pusat Statistik menerapkan perubahan parameter baru indeks pendidikan. Dari yang semula angka melek huruf menjadi angka harapan sekolah, atau Expected Years of School (EYS) dan rata-rata lama sekolah atau Mean Years of Schooling (MYS).
“Rata-rata lama sekolah warga Kabupaten Banjar hanya tujuh tahun, atau kelas satu SMP,” ujar Maidi ditemui klikkalimantan.com belum lama tadi.
Kondisi tersebut menurut Maidi, disebabkan kearifan lokal masyarakat Kabupaten Banjar yang lebih banyak memilih melanjutkan belajar di sekolah-sekolah non formal, semisal pondok pesantren dan madrasah diniyah yang notabene tak termasuk dalam kategori sekolah formal.
“BPS menghitungnya hanya dari pendidikan formal, SD, SMP dan seterusnya. Sedangkan di Kabupaten Banjar, banyak anak yang lulus SD tidak melanjutkan ke SMP, namun lebih memilih melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren,” kata Maidi.
Kendati begitu, upaya mendongkrak indeks pendidikan tetap terus dilakukan. Diantaranya dengan memberi iming-iming fasilitas dari pihak sekolah kepada anak dan orangtua yang mau melanjutkan ke sekolah formal.
Upaya lain, kata Maidi, melaksanakan program pendidikan kesetaraan bagi santri di pondok-pondok pesantren. Meski diakui Maidi, upaya tersebut belum bisa dikatakan maksmila. Karena hanya sedikit santri di pondok pesantren mengikuti program pendidikan kesetaraan.
Hal yang juga akan dilakukan, yakni sinkronisasi data pokok pendidikan pada dengan data peserta didik pada Kantor Kementerian Agama (Kemenag) sebagai institusi berwenang untuk Lembaga pendidikan madrasah dan pondok pesantren.
“Data itu nantinya akan kami sandingkan. Karena di Kabupaten Banjarm jumlah madrasah dan pondok pesantren di lebih banyak dibanding jumlah sekolah formal. Begitu pun jumlah peserta didiknya,” kata Maidi.
Kalua pun belum juga mendongkrak indeks pendidikan, lanjutnya, bersama Badan Perencana Pembangunan Penelitian dan Pengembangan (Baperenlitbang), akan disusun parameter sendiri sebagai pembanding parameter yang dibikin pemerintah pusat.
“Itu nantinya yang akan kami sampaikan ke BPS. Mudahan-mudahan BPS bisa menerimanya sebagai parameter lain pembentuk IMP. Karena permasalahannya hanya di parameter sekolah formal dan nonformal. Sedangkan jika diukur kemampuan membaca, berhitung, dan pendidikan moral, saya yakin itu smeua terpenuhi,” kata Maidi. (to/klik)