Oleh ; Almin Hatta
HARI itu, seorang murid SD pulang sekolah dengan teramat gembira. Begitu tiba di depan pintu rumahnya, ia tak lagi langsung melepas sepatunya sebagaimana hari-hari biasanya. Ia justru langsung berteriak lantang memanggil ibunya tersayang. “Mama …, Mama …, aku juara!”
Anak itu berlari ke dalam rumah sambil mengacungkan sebuah piala perlambang kemenangan. Pertanda bahwa ia telah menjuarai lomba pembacaan puisi antarsekolah se-kecamatan.
Ya, memang cuma tingkat kecamatan. Meski demikian, kemenangan itu tetaplah sesuatu yang membanggakan. Sebuah modal awal untuk lebih tegar menerjang karang pada perjalanan panjang menuju masa depan. Karena itulah Sang Ibu menyambutnya dengan sukacita, dengan segenap bangga atas prestasi anak tercinta. Penderitaannya dulu ketika melahirkan, menyusui, menggendong, menuntunnya ketika mulai belajar berjalan, kini sudah membuahkan hasil yang menggembirakan. Ini pantas disyukuri, sebab tak ada kebanggaan seorang ibu kecuali melihat anaknya meraih prestasi.
Tapi, itu semua hanya berlangsung sekejap. Kegembiraan anak itu tiba-tiba lenyap. Matanya lantas berkaca-kaca. “Tapi, Ma, piala ini cuma boleh kubawa ke rumah satu malam saja. Besok sudah harus dikembalikan ke sekolah. Piala ini menjadi milik sekolah, sebab keikutsertaanku berlomba memang atas nama sekolah,” ujarnya dengan suara memelas.
“Lalu, hadiah untuk kamu apa?” tanya ibunya.
“Tak ada,” jawab anak itu sambil menggelengkan kepala, mengangkat bahu, dan membuka lebar-lebar telapak kedua tangannya.
“Tak ada? Tak juga cuma sekadar beberapa lembar buku misalnya …?” tanya ibunya lagi dengan penuh penasaran.
Anak itu lagi-lagi menggeleng. “Tak ada hadiah apa pun,” ujarnya.
“Ah, ada kok,” timpal ayahnya yang tiba-tiba muncul dari pintu depan. “Hadiah yang kamu peroleh adalah kebanggan. Kebanggaan bagi kamu sendiri, kebanggan bagi ibumu, dan kebanggaan bagi ayahmu ini yang setiap hari mengantar kamu sekolah pulang-pergi. Bahkan kebanggaan bagi semua seniman yang sampai hari ini masih setia menggeluti dunia puisi nan sepi,” lanjutnya.
Begitulah, hadiah utama bagi pemenang sebuah perlombaan, sebuah pertarungan, adalah kebanggaan yang tak ternilai harganya. Kebanggaan yang tak bisa ditakar dengan apa pun juga.
Begitu pula hadiah bagi pemenang pilkada gubernur, bupati, dan walikota. Hadiah utamanya adalah kebanggaan, bukan kekuasaan yang justru berada di baliknya. Yakni kebanggaan akan kepercayaan jutaan rakyat yang telah memilihnya. Karena itu kebanggaan ini harus benar-benar dijaga, jangan sampai pudar yang kemudian membuat rakyat gusar.***