Klikkalimantan.com, BANJARMASIN – Saat ini, Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang perubahan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), merupakan salah satu yang paling menarik dibahas oleh Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kota Banjarmasin.
Perubahan atau revisi Perda Nomor : 5 tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banjarmasin ini, tentunya dipastikan siap dibahas lebih lanjut antara Pemko dengan Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kota Banjarmasin, setelah sebelumnya disampaikan melalui Sidang Paripurna Tingkat I.
Meski demikian, tampaknya, pembahasan revisi raperda ini akan melewati jalan politik yang panjang sebelum disahkan menjadi perda. Sebab, pada awal pembentukan Panitia Khusus (Pansus) pun sudah ada perdebatan panjang. Sampai-sampai, pemilihan ketua pansus pun harus diputuskan melalui jalur voting. Bahkan, draf revisi RTRW yang sebelumnya belum mendapatkan kesepakatan dari legislatif, harus dilakukan pembahasan lanjutan.
Menanggapi hal itu, Ketua Komisi III DPRD Kota Banjarmasin, Muhammad Isnaini, mengatakan wajar jika sebelumnya ada perdebatan dan sebagian legislator mempertanyakan urgensi perubahan Perda RTRW tersebut.
Isnaini menilai, produk hukum sebelumnya tentang RTRW dianggap masih layak dijadikan acuan. Tinggal bagaimana kita taat terhadap aturan yang sudah disepakati bersama, terutama soal penetapan zona hijau dan teralokasinya 30 persen ruang terbuka hijau sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor : 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang.
“Kita tidak ingin perubahan Perda ini kedepannya tak pro rakyat. Maka dari itu, dari awal harus benar-benar cermat sebelum ditetapkan menjadi Perda,” tegasnya, saat ditemui klikkalimantan.com, Senin (31/8) di ruang kerjanya.
Isnaini memaparkan, pembahasan di tingkat pansus pun harus teliti dan cermat. Diingatkannya, pansus tidak hanya mengawal materi subtansi tetapi juga informasi peta RTRW yang direncanakan agar bersesuaian dengan subtansi draft Perda.
“Kita juga tidak ingin perubahan ini menguntungkan segelintir orang. Sebab, melihat penomena yang ada, terkesan sarat politik dan bisnis,” katanya.
Sejauh ini, sebut politisi muda Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) ini, Perda Nomor : 5 tahun 2013 tersebut belum dijalankan secara maksimal, pengalokasian anggaran dalam upaya menambah dan memperluas Ruang Terbuka Hijau (RTH) juga belum sepenuhnya optimal.
Penambahan untuk memperluas RTH, lanjutnya, multak harus dipenuhi setiap pemerintah daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia, sebagaimana diamanatkan UU No: 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang Nasional. Dimana, pemerintah daerah harus mengalokasikan 30 persen dari luas wilayah (RTH). Baik RTH umum maupun privat.
“Yang kita tekankan yakni keberadaan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) yang ditetapkan seluas 21,2 haktare, serta pembebasan ruang terbuka hijau (RTH) publik,” pungkasnya. (sin/klik)