Bertahan di Tengah Labil Harga Beli Dele dan Stabil Harga Jual Tempe
Oleh: Rudiyanto
Hari ketiga proses pengolahan, 60 Kilogram kedelai yang telah direbus, digiling, dan dicuci bersih oleh Endar Priyono, salah seorang pembuat tempe di Sumberadi, Kelurahan Guntung Paikat, Banjarbaru Selatan, Kota Banjarbaru mulai ditumbuhi jamur. Masih perlu waktu satu hari lagi hingga kedelai -masyarakat Jawa menyebutnya kedele, ada juga yang menyebut dele– sempurna menjadi tempe.
Menunggu itu, sesekali pria berusia 38 tahun ini membuka penutup cetakan tempe bebahan bambu berukuran 1,6 meter. Pengecekan bertujuan untuk memastikan kedelai berada dalam suhu ideal proses pertumbuhan jamur. Jika dinilai kurang panas, dapat dilakukan penanganan lanjutan. “Semisal penutupan dengan terpal untuk meningkat suhu agar tempe jadi maksimal,” kata Endar ditemui klikkalimantan.com, Rabu pekan kemarin.
Matang sempurna di hari keempat, Endar yang melakoni pekerjaan sebagai pembuat tempe sejak 19 tahun silam ini, membawa tempe olahannya ke Pasar Subuh Sekumpul Martapura. Sepotong tempe dengan panjang sekitar 30 Centimeter dijual dengan harga Rp5.000. Dari Pasar Subuh Sekumpul, tempe olahan Endar, juga mayoritas pengolah tempe lain di Sumberadi, dijual lagi oleh para penjual sayur keliling.
Dijual dengan harga Rp5.000 per potong, Endar menyebut itu harga abadi tempe. Karena sejak pertama dia melakoni pekerjaan sebagai, harga jual tempe stabil Rp5.000. “Dari dulu sampai sekarang harganya ya segitu. Menaikkan harga tempe adalah hal yang tidak masuk akal. Solusinya, panjang tempe dikurangi. Dulu hampir dua kali lipat potongan yang sekarang,” ujarnya.
Dilematis, pasalnya harga jual tempe yang begitu stabil tidak berbanding lurus dengan labil harga beli kedelai. Saat ini, harga kedelai jenis impor dari United State of America (USA) yang ia gunakan dibandrol Rp10.000 per kilogram. Tertinggi, harga kedelai pernah Rp11.000. Jauh di banding tempo awal Endar memulai usahanya, Rp4.000.
Menggunakan kedelai impor dari Amerika sebagai bahan baku, menurut Endar sama dilematisnya. Karena mestinya, potensi pertanian Negeri ini yang katanya ‘tongkat batu jadi tanaman’ lebih dari cukup untuk pengembangan tanaman kedelai. Pun demikian dengan potensi pertanian di Kota Banjarbaru.
“Petaninya diberi bibit, tapi tidak diajari cara menanam dan perawatannya. Ujung-ujungnya bibit yang harusnya ditanam, justru dijual sebagai bahan baku tempe. Ujung dari itu semua, kran impor kedelai tetap terbuka,” kata Endar sembari bekelakar.
Termasuk komponen utama dalam produksi tempe, kayu bakar untuk proses perebusan. Satu mobil bak terbuka, Endar membelinya seharga Rp250 ribu. Ongkos produksi tersebut dikeluarkan sebulan sekali. Koponen produksi lainnya adalah daun. Daun, umumnya dipasok para penjual dari wilayah Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar. Namun seiring waktu, harga daun juga semakin mahal. Menyiasatinya, digunakan plastik. Apesnya, harga plastik juga ikut-ikutan naik imbas dihapusnya Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium.
“Mau menaikkan harga jual tempe? Ya tetap tak masuk akal. Dinaikkan menjadi Rp6.000 misalnya. Para paman sayur yang mau jual lagi bingung. Dari itu kenapa saya sebut harga tempe, harga abadi,” kata Endar. (bersambung)