Menyingkap Potensi ‘Disembunyi’ di Sumberadi (3)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Antara Potensi Ekonomi Kerakyatan dan Pencemaran, Tempe Sumberadi Perlu Solusi

Oleh: Rudiyanto

Ada sejak puluhan tahun silam, pengolahan tempe menjadi salah satu penggerak utama perekonomian warga Sumberadi, Kelurahan Guntung Paikat, Kecamatan Banjarbaru Utara, Kota Banjarbaru hingga sekarang. Disebutkan Endar Priyono, salah seorang pembuat tempe generasi ketiga yang melakoni pekerjaanya sejak 19 tahun silam, tak kurang dari 20 warga berprofesi sebagai pengolah tempe.

Sebuah eksistensi potensi ekonomi kerakyatan yang bukan lagi tersebunyi. Mestinya, di Sumberadi kini sudah terbangun ‘Tugu Tempe’ sebagai penanda wilayah tersebut sentranya pengolahan tempe di Kota Banjarbaru. Seperti halnya ‘Kampung Pejabat’, (Pembuat Jamu dan Obat) di Kelurahan Loktabat Selatan, atau Kampung Iwak di wilayah Kelurahan Mentaos yang dielu-elu Pemerintah Kota (Pemko) Banjarbaru dalam agenda ‘Kampung Tematik’.

Dari rumah-rumah produksi tempe, rantai perekonomian masyarakat mestinya bisa lebih panjang digerakkan. Sebut saja pengolahan tempe menjadi produk turunan; kripik tempe atau kreasi lain penganan berbahan dasar tempe.

“Itu yang kami inginkan. Bina, bantu kami untuk mengembangkan Sumberadi sebagai sentra produksi tempe. Karena ini riil, potensi yang sudah ada sejak lama. Bukan sebuah kegiatan usaha yang mendadak diada-adakan sekadar agar mendapat bantuan,” kata Endar memastikan tak satu pun program bantuan pemerintah mengucur pada para pengolah tempe. Tidak pula Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) di masa pandemi. “Satu-satunya bantuan yang kami terima dalam bentuk pinjaman bank, alias utang,” imbuhnya.

Upaya minta bantu pemerintah agar dibina dan dikembangkan sebagai sentra produksi tempe bukan tidak pernah tidak dilakukan. Bahkan tak satu dua kali. Pernah diajukan melalui Dinas Lingkungan Hidup (LH), juga Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

BACA JUGA :
Targetkan Kemenangan Hattrick, PDIP Gelar Diskusi dan Konsolidasi Politik

Namun alih-alih dibantu, para pengolah tempe terus saja dibenturkan dengan persoalan limbah. Air pengolahan tempe disebut sebagai biang pencemaran Sungai Kemuning. Pun jika itu benar, mestinya tetap ada solusi dari pemerintah. “Diundang pertemuan di Dinas LH sering. Didata Dinas UMKM sering. Tapi ya habis di pertemuan dan pendataan itu saja. Solusinya tak pernah ada,” ucap Endar.

Diceritakan Endar, pernah pada sebuah pertemuan, Dinas LH meminta para pengolah tempe membuat kotak pengolahan limbah sebelum air pencucian kedelai dilepas ke sungai. Tapi permintaan itu menjadi tak masuk akal. Pasalnya di sisi lain, tanah milik warga diambil untuk keperluan revitalisasi pembangunan siring sungai. Janjinya, pemerintah akan membagunakan septiktank dan biofilter, tapi hingga sekarang tak juga terealisasi.

Biofilter menurut Endar menjadi solusi di tengah klasik permasalahan limbah industri rumahan pengolahan tempe di Sumberadi. Kalau pun tidak per rumah, tabung biofilter bisa digunakan untuk dua rumah. Sedangkan kolam pengolahan limbah, menurutnya bukan solusi. Keberadaan justru akan menimbulkan permasalahan baru. Dengan pola kolam terbuka, air rendaman kedelai justru akan menimbulkan bau. Belum lagi resapannya yang juga akan berdampak pada tercemarnya air tanah.

“Produksi tempe dengan tahu jelas berbeda. Jika memang ada kajiannya, limbah produksi tempe dan tahu sama, tolong tunjukkan. Karena faktanya, tidak ada bahan kimia tambahan dalam proses pengolahan tempe. Jangankan dicampur bahan kimia, tercampur garam atau gula saja, tempe tak akan jadi,” kata Endar.

Ragi yang berfungsi untuk menumbuhkan jamur, menurut Endar juga berasal dari tempe itu sendiri. Namun kemudian kuantitasnya diperbanyak Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi bibit ragi. “Jadi murni bahan alami. Jika dituding mencemari air sungai, toh faktanya sampai saat ini masih banyak warga yang mancing ikan. Kalua tercemar, dipastikan tidak ada lagi ikan yang hidup,” katanya.

BACA JUGA :
Petani di Kecamatan Liang Anggang Terima Bantun Itik dan Ayam

Berlangsung temurun sejak puluhan tahun di sepanjang tepi Sungai Kemuning, aktifitas pengolahan tempe di Sumberadi bisa jadi benar berdampak pada pencemaran air. Namun yang sudah pasti benar, roda perekoniman masyarakat berputar dari proses pembuatan tempe. Bergantung pada para pemangku kebijakan di Kota Idaman yang kini dibawah kepemimpinan duet pasangan Walikota/Wakil Wali Kota, HM Aditya Mufti Ariffin – Wartono. Mengangkat potensi ekonomi yang puluhan tahun tersebunyi, atau justru potensi tersembunyi itu terus ‘disembunyikan’ berdalih pencemaran.

“Kalau keberadaan kami para pembuat tempe dianggap sebagai biang masalah pencemaran, kenapa setiap ada yang ingin melakukan penelitian tentang tempe diarahkan ke Sumberadi. Semua mahasiswa yang pernah melakukan penelitian selalu saya taya, tahu dari mana di sini tempat pembuatan tempe? Jawabnya, dari dinas,” kata Endar. (bersambung)

Scroll to Top