Almin Hatta
Suatu hari, beberapa tahun silam, aku menghadiri acara selamatan seorang keluarga yang akan berangkat haji. Tentu saja banyak orang yang datang, dan banyak orang tentu banyak cerita bertebaran. Tapi, kebanyakan orang minta didoakan agar ia juga diberi kesempatan berhaji di waktu yang akan datang.
Permintaan yang bagus tentunya, meski soal haji bukanlah semata karena doa dan bukan pula karena panggilan. Tapi semata karena sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim yang memang telah memenuhi segala persyaratan.
Masalahnya, banyak orang yang sebenarnya tak cukup harta dan karenanya tak pernah bermimpi manatap Ka’bah langsung di depan mata, eh tiba-tiba saja berkesempatan menunaikan ibadah ke lima.
Contohnya seorang yang baru sekitar dua tahun menjadi pegawai kesehatan. Ia, sesuai dengan ketentuan yang diberlakukan, memang pernah ikut-ikutan rekan-rekannya mengajukan permohonan menjadi petugas kesehatan rombongan jamaah haji. Eh, tanpa pernah diduga, ia ternyata terpilih, menyisihkan ratusan rekannya yang jauh lebih senior dibanding dirinya. Kata orang, hal semacam ini bisa terjadi karena memang ada langkahnya. Tapi aku menyebutnya itu rezeki dari Yang Maha Pemurah semata.
Rezeki memang tidak semata berbentuk harta yang melimpah ruah. Rezeki bisa pula berupa tubuh yang selalu sehat, anak yang banyak, jabatan yang lumayan, dan selalu punya kesempatan melaksanakan segala ibadah yang diwajibkan dan disunahkan. Tak sedikit orang yang kaya raya, tapi tidak kunjung berangkat ke Makkah sana. Soalnya, rezekinya cuma dalam bentuk harta yang tak terkira, tapi belum dalam bentuk ibadah ke lima.
Di lain pihak, ada orang yang hidupnya pas-pasan saja, pekerjaannya pun cuma sebagai pedagang kaki lima, tapi bisa dengan enteng menunaikan ibadah haji bersama istrinya. Sekali lagi, kata orang, ini bisa terjadi karena memang ada langkahnya. Tapi aku tetap berkeyakinan, ini semata karena yang bersangkutan benar-benar menyadari kewajiban. Ia berangkat haji karena menyadari dirinya telah mampu melaksanakannya: tubuh sehat, biayanya pun ada. Sebab, untuk menunaikan ibadah haji tak harus menunggu sampai kaya raya.
Dulu, di zaman para khalifah, syarat utama menunaikan ibadah haji itu sangat sederhana. Yakni tubuh sehat sehingga mampu menunggang unta dari kampung halaman hingga tiba di Makkah, serta cukup bekal makanan selama dalam berjalanan yang berpekan-pekan.
Pada suatu musim haji, berangkatlah tujuh orang sufi secara bersama-sama dengan menunggang unta menuju Makkah. Pada hari kedua, ketika beristirahat di tengah perjalanan, salah seorang sufi itu melihat seorang wanita paro baya sedang mengais bangkai hewan. Ia mendekat dan bertanya, untuk apa ibu itu melakukannya. Si ibu menjelaskan bahwa ia seorang janda yang baru ditinggal mati suaminya, dan tiga orang anaknya sudah tiga hari tak makan apa-apa.
Mendengar itu, sufi tersebut memberikan semua bekalnya. Dengan demikian ia tak bisa lagi meneruskan perjalanannya untuk menunaikan rukun kelima. Ia memutuskan berhenti di situ, dan nanti akan ikut pulang bersama enam rekannya setelah selesai melaksanakan ibadah.
Tapi ketika pulang dan menemukan sufi itu tetap menunggu di tempat yang sama, enam sufi tadi menegurnya dengan nada kecewa. “Kamu bilang tak bisa meneruskan perjalanan, nyatanya kamu tetap melaksanakan ibadah haji dan bahkan pulang lebih dulu dari kami,” kata mereka.
Sufi itu tentu saja keheranan, sebab selama menunggu itu ia benar-benar tak pergi ke mana-mana. Sementara teman-temannya mengaku melihatnya menunaikan ibadah haji pula di Makkah sana. Tapi, setelah terdiam beberapa saat lamanya, ke tujuh sufi itu akhirnya sadar bahwa dalam hal ini Tuhan Yang Maha Kuasa menunjukkan kekuasan-Nya untuk melakukan apa saja.
Karena itu, jangan heran jika banyak orang kaya tapi tak kunjung menunaikan ibadah ke lima, sementara tak sedikit orang yang terlihat hidup pas-pasan tiba-tiba sudah berangkat ke Makkah sana.
Tahun 2020 ini, karena pandemi Corona, ibadah haji dilaksanakan dengan jamaah yang sangat terbatas. Jamaah dari luar Arab Saudi tak diperkenankan datang. Karenanya, jutaan orang yang mestinya berhaji tahun ini harus rela keberangkatannya tertunda hingga tahun depan atau entah sampai kapan.
Maka, berhaji boleh jadi memang persoalan langkah. Tapi aku lebih suka menyebutnya berkah bagi orang yang benar-benar taat menjalankan kewajibannya beribadah.***