klikkalimantan.com, PARINGIN – DPRD Kabupaten Balangan mendesak percepatan pembentukan Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Anak untuk memperkuat sistem perlindungan anak yang selama ini dinilai lemah dan bersifat sektoral.
Desakan ini muncul seiring dengan keprihatinan atas maraknya kasus kekerasan dan pelanggaran hak anak yang terjadi, sementara instrumen hukum daerah yang mengatur perlindungan anak secara komprehensif masih belum ada.
Anggota Komisi III DPRD Balangan, Fathurrahman, menegaskan bahwa perlindungan anak tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan reaktif atau program sementara yang berjalan tanpa landasan hukum yang kuat.
“Sudah saatnya Balangan memiliki regulasi yang jelas dan tegas. Ini kebutuhan mendesak, bukan sekadar wacana. Harus ada dasar hukum agar perlindungan anak menjadi tanggung jawab bersama yang terukur,” ujarnya, Selasa (5/8/2025).
Legislator yang membidangi urusan sosial ini menjelaskan bahwa selama ini penanganan kasus anak di Balangan masih bersifat parsial dan tidak terintegrasi. Setiap instansi bekerja dengan kewenangannya masing-masing tanpa ada koordinasi yang sistematis.
Menurutnya, Perda Perlindungan Anak akan menjadi payung hukum yang mengatur secara komprehensif mulai dari pencegahan, penanganan, hingga rehabilitasi korban, serta sanksi tegas bagi pelaku kekerasan terhadap anak.
Fathurrahman menyebut ketiadaan regulasi daerah telah memicu lemahnya koordinasi antarinstansi, sementara kasus kekerasan dan pelanggaran hak anak terus terjadi. Kondisi ini menurutnya tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
“Tanpa payung hukum yang jelas, setiap OPD bekerja sendiri-sendiri. Akibatnya, penanganan tidak maksimal dan anak-anak yang menjadi korban,” jelasnya.
Ia mengungkapkan bahwa DPRD telah menerima berbagai laporan dari masyarakat dan lembaga pemerhati anak terkait lambatnya respons dalam penanganan kasus anak. Hal ini, menurut Fathurrahman, membuktikan urgensi kehadiran regulasi khusus yang mengikat semua pihak.
DPRD pun menargetkan pembahasan Perda Perlindungan Anak ini masuk dalam prioritas legislasi tahun 2026, dengan harapan bisa segera disahkan dan diimplementasikan.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Balangan, Abiji, menilai perlindungan anak harus berbasis sistem permanen dan lintas sektor, bukan hanya program temporer yang bergantung pada dinamika anggaran dan pergantian kepemimpinan.
“Pencegahan harus dilakukan sejak dini melalui kolaborasi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), Dinas Kesehatan, hingga layanan psikologis. Semua ini membutuhkan payung hukum yang jelas,” katanya.
Abiji menekankan bahwa sektor pendidikan memiliki peran strategis dalam pencegahan kekerasan terhadap anak melalui edukasi sejak dini tentang hak-hak anak, bahaya kekerasan, dan mekanisme pelaporan.
Namun, menurutnya, upaya di sektor pendidikan tidak akan efektif tanpa dukungan sistem perlindungan yang kuat dari instansi lain seperti kesehatan, sosial, dan penegak hukum. Oleh karena itu, Perda yang mengatur kolaborasi lintas sektor menjadi sangat penting.
Fathurrahman menegaskan bahwa penyusunan Perda Perlindungan Anak tidak boleh bersifat eksklusif dan hanya melibatkan pemerintah serta DPRD. Partisipasi berbagai elemen masyarakat mutlak diperlukan agar regulasi yang dihasilkan benar-benar menjawab kebutuhan di lapangan.
“Harus melibatkan lembaga perlindungan anak, tokoh agama, pendidik, dan masyarakat sipil. Regulasi ini harus menjawab persoalan di lapangan, bukan sekadar formalitas,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa DPRD akan membuka ruang seluas-luasnya bagi masukan publik melalui public hearing, focus group discussion, dan dengar pendapat dengan berbagai stakeholder terkait.
Dengan pendekatan partisipatif, Fathurrahman optimis Perda yang dihasilkan akan lebih aplikatif dan mendapat dukungan luas dari masyarakat dalam implementasinya.
“Kalau kita serius soal generasi penerus, kebijakan yang kuat dan berkelanjutan harus dimulai sekarang. Tidak ada alasan untuk menunda,” pungkasnya. (to/klik)


















