Jadikan Ulama dan Tokoh Masyarakat sebagai Sumber Ilmu dan Rujukan

Muhlisaril Hasani di kalangan aparatur sipil negara Pemerintahan Kabupaten Banjar dikenal dengan panggilan Ulis atau Kai Ulis. Diusia memasuki masa purna tugas, ayah dari 5 orang anak ini masih terlihat begitu segar. Rambut yang mulai memutih sama sekali tak merubah penampilan enerjik birokrat yang hobbynya bertani ini.
Selain bertani, Kai Ulis sejak puluhan tahun silam dikenal dekat dengan sejumlah tokoh dari berbagai kalangan. Tetua adat dan alim ulama menjadi rujukannya dalam setiap tindakan. Termasuk rujukan dalam menjalankan aktivitas pertaniannya.
Kini Kai Ulis telah memiliki puluhan hektare lahan pertanian dengan komoditi berbeda. Kemiri, jengkol, karet dan berbagai jenis tanaman buah telah ditanam dana dirawatnya sejak sepuluh tahun yang lalu. Kini begitu memasuki masa pensiun hasil panen melimpah telah menunggu.
Senin malam 15 Maret 2022, Safariyansyah, wartawan Klikalimantan.com berkesempatan berbincang eksklusif dengan petani birokrat yang satu ini. Banyak pengalaman yang diceritakannya, dari awal perjalanannya menjadi pegawai hingga mempersiapkan diri sebelum pensiun. Berikut petikan bincang-bincang santai di beranda rumanya di Jalan Astoria Banjarbaru.
Assalamualaikum Kai Ulis, apa kabar….
Wa alaikum salam..Alhamdulillah sehat seperti yang anda lihat..
Kai bisa ceritakan bagaimana awal menjadi pegawai?
Semula saya tidak berangan-angan menjadi pegawai walau pun orang tua saya seorang pegawai. Tetapi ya namanya rezeki tu kan bukan kita yang mengatur, saya juga lupa bagaimana awalnya saya jadi pegawai. Karena kala itu saya bekerja sebagai sopir angkutan umum. Intinya dengan modal ijazah SLTA akhirnya saya diangkat sebagai pegawai negri sipil.
Tentu saja dengan gaji yang tak seberapa kala itu, untuk membiaya rumah tangga jelas tidak mencukupi karena itulah saya tetap nyambi nyupir.
Alhamdulillah, dari sini juga saya dekat dengan banyak tokoh-tokoh yang ada di Kabupaten Banjar. Termasuk kalangan ulama besar yang ada di Martapura. Ini juga yang membuat saya tenang dan sangat nyaman menjalankan aktivitas.
Bisa diperjelas Kai, maksud tenang dan nyaman?
Begini, saya ini sadar betul bahwa saya fakir dalam segala hal. Berbeda dengan para ulama dan tokoh masyarakat, mereka memiliki kearifan dan keilmuan yang saya yakini sebagai panutan, penuntun untuk menuju ke jalan yang benar. Kepada beliau-beliau itulah saya selalu meminta bimbingan, termasuk ilmu-ilmu pertanian yang sepuluh tahun ini saya geluti.
Bertani? Bagaimana bisa anda seorang birokrat yang saban hari disibukkan dengan pelayanan nyambi menjadi petani?
Ha..ha..ha…kalau yang satu ini panjang sekali ceritanya. Tetapi singkat cerita saya ini sempat ditugaskan di Kecamatan Sungai Pinang. Waktu itu belum ada aktivitas tambang batubara di sana. Mendulang dan bertani menjadi mata pencaharian utama masyarakat di sana.
Namanya juga bertugas di daerah terpencil, waktu itu banyak waktu luang mengingat pelayanan tak sepadat di wilayah perkotaan.
Nah disinilah tersirat mengapa tidak bertani saja. Lahan tersedia begitu luas dan harga perhektarenya relatif sangat terjangkau untuk membelinya. Akhirnya saya pun memulai aktivitas sebagai petani. Namun saying sebagai seorang pegawai yang siap ditempatkan dimana saja, saya akhirnya dipindahkan kembali ke ibukota kabupaten. Terhentilah kegiatan bertani saya.
Lalu mengapa saat ini anda bisa mengelola puluhan hektare lahan pertanian yang jaraknya jauh baratus kilometer dari Kota Martapura?
Ini bermula saat saya ditugaskan ke Kecamatan Peramasan atau kecamatan paling jauh yang dimiliki Kabupaten Banjar. Terletak di Pegunungan Meratus dan berbatasan dengan Kabupaten HSS dan Kabupaten Tanah Bumbu, wilayah Kecamatan Peramasan begitu menjanjikan bagi para pecinta pertanian.
Kebetulan saya memiliki mertua seorang tokoh adat setempat. Banyak pahumaan (ladang,red.) yang tak tergarap. Dari situlah saya dibantu istri dan anak memulai membuka huma-huma yang kosong. Dengan bermodal tenaga lambat namun pasti, satu per satu petak huma bisa kami kelola. Bila huma itu lokasinya jauh maka kami menanaminya dengan tanaman keras, seperti karet, kemiri dan jengkol.
Sedangkan huma-huma yang lokasinya dekat kami menanaminya dengan padi gunung dan berbagai jenis palawija. Terutama tanaman Lombok.
Alhamdulillah, dari bertani ini kebutuhan rumah tangga sudah sangat berkecukupan. Bagi saya inilah salah satu buah dekat dengan ulama dan tokoh masyarakat. Karena bimbingan beliau-beliau itulah akhirnya saya memahami betapa mulianya bertani itu. Banyak pelajaran hidup yang saya dapatkan dalam bertani. Kearifan sikap hingga jaminan penghasilan saya dapatkan dari sini.
Wah dengan begitu anda tak bakalan dipusingkan setelah pensiun?
Ha ha ha…yang namanya pusing itu kan relatif ya. Tetapi kalau anda bertanya soal kesiapan, saya akan jawab saya sudah siap. Termasuk siap menjalankan perintah dari mereka (guru dan tokoh masyarakat) dengan misi membangun negri.***