Kapten Mustafa Ideham: Pemimpin Perang Batakan, Pendiri Uniska Banjarmasin

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
MENJAWAB-Penulis buku Mustafa Ideham: Kisah Gerilya Hingga Dunia Pendidikan, Nasrullah memegang mikropon, ditemani Pahri Rahman, dan seorang penanggap, Wahyudin Nor saat menjawab pertanyaan peserta dalam acara bedah buku itu di Ruang Seminar Fisip Uniska di Banjarmasin.(uniska/klik)

klikkalimantan.com, BANJARMASIN-Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Publik (HMPAP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Muhammad Arsyad Al-Banjari menggelar acara bedah buku ‘Mustafa Ideham: Kisah Gerilya Hingga Dunia Pendidikan’ di ruang seminar kampus tersebut di Banjarmasin, Sabtu (17/6/2023).

Saat acara digelar, hadir Ketua Yayasan Uniska, H Budiman, Dekan Fisip, Hj Dewi Merdayanty, Wakil Dekan I, Junaidy, Wakil Dekan II, Lieta Dwi Novianti, Wakil Dekan III, M Agus Humaidi, seorang penanggap, Wahyudin Nor, dan dua orang penulis buku itu, Nasrullah dan Pahri Rahman.

“Kapten Mustafa Ideham adalah panutan. Kita berada di sini karena amal jariyah Beliau. Rencananya nanti salah gedung di Uniska ini akan diberi nama  Beliau,” ujar Wakil Dekan I Fisip, Junaidy, saat memberikan sambutan.

Tanpa Mustafa Ideham, kata Junaidy, maka Uniska tak akan pernah ada. Oleh sebab itu, sebagai penerima manfaat dari kampus ini, hendaknya kita semua harus menghormati, meneladani, dan menghargai jasa-jasanya yang sangat besar dalam mendirikan universitas swasta terbesar di Kalimantan ini.

Sejarah hadirnya Uniska, tutur sang penulis buku Nasrullah, sebenarnya tak lepas dari peristiwa besar perang Batakan tahun 1946 di Kecamatan Panyipatan, Kabupaten Tanah Laut (Tala). Sebab, sebelum mendirikan kampus ini, Mustafa Ideham adalah seorang pemimpin pejuang kemerdekan yang tergabung dalam Divisi IV ALRI Pertahanan Kalimantan, yang melakukan infiltrasi bersama pasukannya dari Tuban menuju Batakan.

Sebenarnya, terang Nasrullah, infiltrasi bersama pasukan dari Tuban menuju Batakan itu bertujuan agar Kalimantan tetap berada di pangkuan Republik Indonesia. Meski dirugikan dalam perjanjian Linggarjati. Apalagi, pasca perjuangan situasi nasional mengalami perubahan.

“Setelah kemerdekaan, banyak eks pejuang yang tidak diakui statusnya, surplus tentara sehingga demobilisasi yang mengharuskan para gerilyawan memilih tiga pilihan; mengundurkan secara suka rela, sebagai Corp Tjadangan Nasional (CTN), atau dilatih kembali sebagai tentara professional,” jelas Nasrullah.

BACA JUGA :
92 Jabatan Tak Bertuan, Akan Ada Rombak Massal Pasca Enam Bulan Kepemimpinan Bupati Saidi

Mustafa Ideham, tambah Nasrulah, adalah pemimpin perang kemerdekaan yang mengambil pilihan mengundurkan diri secara sukarela. Setelah mengundurkan diri secara sukarela, ironisnya lagi pangkatnya kembali diturunkan. Dari semula kapten turun satu tingkat menjadi letnan satu. Sebaliknya, KNIL yang notabenenya adalah tentara didikan Belanda pangkatnya justru satu tingkat dinaikkan.

“Karena ketidakadilan pemerintah kala itu, mengakibatkan reaksi para pejuang kemerdekaan bermunculan. Di Kalteng misalnya, ada Gerakan Mandau Telabang, pemberontakan Ibnu Hajar di Hulu Sungai, dan sebagian tentara kombatan kembali masuk hutan,” ujar Nasrullah.

Sedangkan Mustafa Ideham, lanjut Nasrullah, tidak melakukan pemberontakan terhadap republik seperti kombatan lainnya. Ia justru seperti “Jenderal Naga Bonar” dengan mendata para pejuang gerilyawan dan menaikkan pangkatnya sehendak hati, namun dengan tujuan untuk mendapatkan penghargaan berupa pensiunan veteran kemerdekaan.

“Sebagai bentuk kekecawaan terhadap demobilisasi, likuidasi ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, dan penurunan pangkat-walau tak terucap, Mustafa Ideham mendirikan institusi pendidikan bernama Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari,” tukas Nasrullah.(pr/klik)

Scroll to Top