Jalan Panjang Budidaya Ikan di Kecamatan Karang Intan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

klikkalimantan.com, MARTAPURA – Selain dikenal sebagai daerah pertanian dan perkebunan dengan hasil karet dan buah-buahannya, salah satunya buah duren (durian), Desa Sungai Elang, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar, juga dikenal sebagai daerah penghasil ikan air tawar yang dibudidayakan di perairan sungainya menggunakan keramba (keranjang) jala apung.
Salah satunya jenis ikan air tawar dengan nama ilmiah Oreochromis niloticus, atau dalam bahasa Inggrisnya lebih dikenal dengan sebutan Nile Tilapia, namun lebih familiar dalam sebutan lidah orang Indonesia dengan nama Ikan Nila. Ikan ini memiliki berbagai keunggulan dibandingkan ikan lokal lainya, salah satunya dari segi pangsa pasar yang lebih mudah.

Harus dengan Ilmu yang Mumpuni

Menggeluti bisnis budidaya ikan nila, bukanlah perkara mudah. Mengingat, selain membutuhkan ilmu yang mumpuni dalam tata cara budidayanya, pangsa pasar ikan Nila pun masih belum digandrungi dan didapati di setiap pasar tradisional di Kabupaten Banjar dan Kota Banjarbaru kala itu.
Susahnya membangun bisnis air tawar hingga jatuh bangun, telah dialami Muhammad Rifqi yang terjun melakoni bisnis budidaya ikan Nila di Desa Sungai Elang sejak 16 Juni 1986 silam. Kala itu, ia langsung membentuk Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) Karya Baru, secara swadaya.
“Jadi, pada tahun tersebut saya mulai menggeluti bisnis budidaya ikan, atau menjadi orang yang paling pertama melakukan bisnis budidaya ikan di Desa Sungai Elang, Kecamatan Karang Intan,” kata Rifqi kepada klikkalimantan.com, pada 2 Oktober 2020 lalu.
Tak hanya sampai di situ. Rifqi mengaku, saat mulai menggeluti usaha budidaya ikan Nila tersebut, dirinya masih mengecap pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), dan belum mengerti tata cara bagaimana budidaya ikan air tawar yang baik. Namun, sudah menjadikan Kota Banjarbaru sebagai pangsa pasar hasil budidaya ikan Nila miliknya selain di Kabupaten Banjar.
“Setelah saya mengenal seorang dosen di salah satu univirsitas, yakni Pak Aksin, warga Kota Banjarbaru yang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sungai Elang, saya pun memiliki akses untuk memasarkan ikan nila hasil budidaya ini ke Pasar Kota Banjarbaru. Karena tempat tinggal Pak Aksin berada di kawasan pasar atau di belakang Bioskop Sederhana Teater, Kota Banjarbaru, masa itu,” ujarnya.
Kendati memiliki dua pasar di dua daerah, yakni Kabupaten Banjar dan Kota Banjarbaru, namun dalam perjalanannya usahanya ini, Rifqi justru sempat gulung tikar pada 1990. Pasalnya, pangsa pasar ikan nila hasil budidayanya kala itu memang masih sangat sulit. “Di tahun 1990 saya pun berhenti menggeluti bisnis budidaya ikan nila, karena kesulitan untuk memasarkannya,” ucapnya.
Beberapa tahun kemudian, lanjut Rifqi, setelah dirinya berkeluarga, hasrat untuk membangun bisnis budidaya ikan pun kembali muncul. Lalu, ia kembali mewujudkannya pada 1994, dan sejak itu bertahan sampai sekarang.
“Bisnis budidaya ikan inikan merupakan ladang usaha yang kembang kempis. Soalnya, ada berbagai faktor yang menyebabkan kerugian bisa saja terjadi. Antara lain faktor alam, tangan manusia, dan keterlambatan baik dari pembudidaya maupun dari instansi terkait penanggulangannya,” katanya.

BACA JUGA :
Tak Ingin Gelabakan Lagi, RSD Idaman Pastikan Ketersediaan Oksigen Aman

Menjadi Usaha Berbadan Hukum

Atas berbagai faktor tersebut, pada 2002, Rifqi bersama 10 orang lainnya membentuk Pokdakan Melati yang hingga kini masih dipimpinnya. Setiap anggotanya memiliki usaha berbadan hokum, agar dapat membangun hubungan kerjasama yang baik antar Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banjar melalui dinasnya dengan kelompok pembudidaya.
“Sejak membentuk Pokdakan Melati, kami selalu mendapatkan dukungan dari Pemkab Banjar dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KPP) RI. Berbagai program dan bantuan barang, seperti bimbingan budidaya, bibit, pakan ikan, dan obat-obatan, hingga vaksin ikan, kami dapatkan. Bahkan, kami dilibatkan pada ajang bergensi di 2014 lalu. Yakni Gempita Perikanan Tingkat Nasional di lantai III Gedung Nila Bahari. Kami kala itu meraih juara harapan 1. Keikutsertaan di tingkat nasional itu, usai kami menjuari perlombaan 5 Regional Kalimantan yang bertarung di tingkat provinsi sebagai juara 1, dengan kategori penilaian aktivitas dalam kegiatan budidaya ikan,” ungkapnya.
Dengan adanya Pokdakan, papar Riffqi, pihaknya lebih mudah untuk mendapatkan sokongan dana. Baik melalui program bantuan kementerian, provinsi, dan kabupaten, atau pun melalui dana pinjaman dari bank dengan memperoleh surat rekomendasi dari instansi terkait.
“Sejak 2005 – 2006 kami bisa dengan mudah melakukan pinjaman dana Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), setelah mengantongi surat rekomendasi dari dinas terkait. Jadi, bantuan yang diberikan pemerintah bukan hanya bentuk barang saja, tetapi juga berupa dukungan moral spiritual kepada setiap pembudidaya ikan,” tuturnya.
Dengan mendapat dukungan sejak 2002 lalu, Pokdakan Desa Sungai Elang pun bisa dengan mudah mengembangkan usahanya. “Sebelum dapat dukungan, keramba Pokdakan Melati hanya berjumlah 6 unit. Sekarang sudah memiliki sekitar 100 unit keramba ikan nila,” katanya.

(Foto : Usaha Keramba Apung yang kini banyak diminati masyarakat/klik)

Budidaya Ikan Mulai Digandrungi

Seiring berjalannya waktu, jumlah anggota Pokdakan Melati pun kian bertambah mencapai hingga 30. Sehingga pembudidayaan ikan membaginya menjadi dua kelompok, yakni Pokdakan Melati dan Pokdakan Melati Jaya.
“Jadi, kalau ada masyarakat lain yang ingin melakukan budidaya ikan, maka kita sarankan agar membentuk kelompok. Saat ini sudah berdiri 4 Pokdakan di Desa Sungai Elang, yang tergabung dalam Pokwasmas (Kelompok Pengawasan Masyarakat Perikanan) di bawah binaan Dinas Perikanan Kabupaten Banjar,” tegasnya.
Adapun tugas dan fungsi Pokwasmas, papar Rifqi, yakni untuk mengawasi terkait kegiatan budidaya, seperti kondisi perairan sungai pada budidaya, hingga menggelar kegiatan ronda malam guna meminimalisir terjadinya pencurian, penangkapan ikan dengan cara disetrum, dan tindakan pengrusakan yang mempengaruhi kondisi air sungai budidaya ikan tersebut. “Dari 80 orang anggota Pokwasmas, 60 diantaranya langsung mendapat SK dari Dinas Perikanan. Bahkan, anggota Pokwasmas pun telah mendapat Sertifikat Basic Safety Training (BTS) dari KPP pusat,” bebernya.
Inovasi Keramba Kayu Ulin Beralih ke Jala Apung
Selain membutuhkan strategi pangsa pasar dalam mencari keutungan budidaya ikan nila, Pokdakan juga dituntut untuk mengetahui tatacara budidaya ikan yang lebih menguntungkan, efisien, dan ramah lingkungan. Sebagai inovasinya, Pokdakan yang dulu menggunakan keramba kayu Ulin sebagai media budidayanya, kini telah beralih ke sistem budidaya jala apung.
“Kalau masih menggunakan keramba kayu Ulin, kapasitas tampung ikannya hanya 1.000 ekor untuk 1 keramba. Sedangkan menggunakan jala apung dapat menampung sekitar 10.000 ekor ikan nila. Artinya 1 banding 10. Terlebih, jala apung lebih ramah lingkungan karena tidak menghasilkan limbah ke sungai, serta mampu bertahan sekitar 8 tahun. Tapi, ketika menjelang panen harus kita lakukan pengecekan untuk mengetahui kalau-kalau jalanya robek atau bolong,” terangnya.
Dengan menggunakan sistem keramba kayu ulin dalam budidaya ikan nila, dapat dipastikan akan menghasilkan limbah. “Karena paku pada keramba kayu Ulin pasti akan keropos selama di dalam sungai. Ketahanannya pun hanya sekitar 5 – 6 tahun saja, harus dilakukan perbaikan sepenuhnya,” ungkapnya.

BACA JUGA :
Usaha Minerba Jadi Kewenagan Pemerintah Pusat, Berdampak Terhadap PAD

Ketika Musibah MenderaJalan Panjang Budidaya Ikan

Dengan terdaftar sebagai usaha di lembaga hukum, lanjut Rifqi, ketika dilanda musibah seperti banjir yang menghanyutkan hingga menghancurkan keramba yang terbuat dari kayu Ulin pada 2006 lalu sebelum beralih ke jenis jala yang lebih dikenal masyarakat ‘keramba jala apung’, dan menimbulkan kerugian besar hingga terancam gulung tikar, pihak Pokdakan masih memiliki kesempatan untuk bangkit.
“Karena kita telah berbadan hukum, pemerintah pun bisa memberikan bantuan. Salah satunya dengan pengadaan bibit pada 2006 lalu. Yakni bibit ikan jenis patin jambal beserta pakannya. Bahkan, bantuan pakan ikan, dan obat-obatan untuk meningkatkan imun tubuh ikan seperti vitamin C, anti biotik, probiotik dari dari Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPAT), masih mengalir sampai saat ini,” akunya.
Begitu pun pada peristiwa matinya puluhan ton ikan budidaya pada Oktober 2019 lalu, semua instansi terkait bersama Pembudidaya dapat saling kerjasama menanggulangi permasalahan ikan mati hingga proses pembersihan ikan mati agar tidak mencemari air sungai.
“Musibah matinya puluhan ton ikan pada 2019 lalu bisa dibilang karena faktor alam, dan keterlambatan tangan manusia. Mengingat, selain debit air sungai berkurang sebagai dampak musim kemarau, instansi terkait pun terlambat untuk melakukan pembukaan pintu air irigasi. Seandainya pengairan irigasi dibagi 50:50 dengan pembudidaya ikan di Desa Sungai Elang, kemungkinan musibah matinya ikan tidak akan terjadi,” ucapnya.
Berawal dari insiden tersebut, dikatakan Rifqi, instansi terkait pun kini lebih aktif memberikan informasi, baik terkait kegiatan penyuluhan, imbauan, dan lain sebagainya, yang selalu disampaikan baik melalui pesan singkat WhatsApp, surat edaran, media online, media cetak, dan pengumuman melalui radio untuk diketahui para pembudidaya ikan di Kabupaten Banjar.
“Pemerintah Kabupaten Banjar sudah memberikan perhatian yang serius terhadap pembudidaya ikan dengan selalu berkoordinasi, baik melalui Dinas Perikanan dan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Kabupaten Banjar. Bahkan, ketika harga ikan nila anjlok dampak pandemi Corona virus disease (covid-19) melanda Kabupaten Banjar, Dinas Perikanan pun terus berupaya membantu,” tuturnya.
Salah satu upayanya tutur Rifqi, yakni dengan mengadakan pembagian ikan gratis bagi masyarakat terdampak pendemi covid-19 di tengah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Parsial.
“Sejak covid-19 melanda Kabupaten Banjar pada Maret – April 2020 lalu hingga penerapan PSBB, harga ikan nila di Pembudidaya sempat anjlok di harga Rp23.000 – Rp22.000 perkilogram. Jadi, melalui program pembagian ikan gratis tersebut, Dinas Perikanan dapat meningkatkan harga jual ikan kami, dengan cara membeli stok ikan yang ada di pembudidaya dengan harga standar, sehingga stok ikan kami yang terlalu banyak dapat berkurang dan harga pun mulai kembali normal hingga berkisar di Rp27.000 perkilogramnya,” ungkapnya.
Tak hanya sampai disitu, bahkan Pemkab Banjar melalui Dinas Perikanan pun kembali menawarkan kepada Pokdakan Melati sebagai penyedia ikan gratis tersebut. Akan tetapi persediaan ikan nila dari Pokdakan Melati tidak mencukupi.
“Pokdakan Melati yang beranggotakan 11 orang pembudidaya ikan sempat menyedikan sekitar 2 ton ikan nila untuk satu kali program Dinas Perikanan. Jadi, total stok ikan nila yang berhasil disediakan selama program tersebut berlangsung sekitar 40 ton stok ikan yang berhasil kami jual, dan berdampak meningkatnya harga ikan nila,” jelasnya.

BACA JUGA :
Jelang Pemilu, PN Martapura Diserang Massa

Dampak Pandemi Covid-19

Kendati, penyebaran covid-19 di Kabupaten Banjar kian melandai. Namun, dampaknya hingga sekarang masih dirasakan pembudidaya ikan di Desa Sungai Elang Karang Intan.
“Saat ini omset kami menurun selama pandemi covid-19, ditambah beberapa waktu lalu dilakukan pengeringan air irigasi sehingga sangat berpengaruh terhdap penghasilan kami. Biasanya satu kali panen yang dilakukan setiap 3 – 6 bulan sekali, keramba jala apung kita bisa menghasilkan ikan nila sekitar 2 – 4 ton ikan nila, kini hanya menghasilkan ikan nila sekitar 1 – 1,5 Ton ikan nila saja,” ucapnya. Untuk itu, ungkap Rifqi, Pokdakan di Desa Sungai Elang sangat berharap kerjasama antar pemerintah yang sudah terbangun dengan baik menjadi lebih baik lagi, khususnya terkait kegiatan penyuluhan tentang tata cara bagaimana berbudidaya ikan yang baik. Mengingat, masih banyak pembudidaya ikan yang belum mengetahui.
“Tak terkecuali terkait bantuan dari pemerintah untuk keberlangsungan pembudidaya ikan. Harapan kami, kalau bisa bentuk bantuan yang disalurkan pun berupa bibit ikan kalau tidak bisa menyalurkan bantuan berupa dana. Karena diluar bencana alam, pembudidaya ikan belum pernah mendapatkan bantuan berupa bibit. Tapi, kita pun juga belum mengajukan untuk meminta langsung hal tersebut,” akunya.
Dikatakan Rifqi, seiring berjalannya waktu, kalau ditotal jumlah jala apung yang terbentang di Desa Sungai Elang kini berjumlah sekitar 300-400 Jala Apung. “Sebenarnya tak hanya ikan nila yang kita budidayakan, ada juga jenis ikan lain seperti ikan bawal, patin, ikan mas, dan ikan lele. Karena pangsa pasarnya lebih mudah ikan nila, sehingga budidaya ikan lainnya tidak dilakukan secara rutin,” pungkasnya.
Berdasarkan data pada Dinas Perikanan Kabupaten Banjar, telah tercatat sebanyak 1.731 jala apung dengan total jumlah pembudidaya sebanyak 370 orang di kawasan Sungai Riam Kanan,  Kecamatan Karang Intan.(Zai/klik)

Scroll to Top