Melihat Resiliensi Industri Pengolahan ‘Kopi Jati’

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
MENYANGRAI - Proses menyangrai kopi menggunakan tong yang terus diputar di atas bara api. (foto-foto: rudiyanto)

Industri Rumahan Temurun Sejak Puluhan Tahun Silam. Mulai bersaing di pasar ritel modern dengan kemasan. Menunggu Bekembang di Masa Keemasan.

Oleh: Rudiyanto

Pengolahan kopi bubuk, menjadi industri kecil rumahan yang banyak dilakoni warga di Desa Pasar Jati dan Jati Baru, Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Industri ini bahkan digeluti mayoritas warga temurun sejak puluhan tahun silam.

Salah seorang warga yang sudah puluhan tahun menekuni industri pengolahan kopi adalah Fatimah. Bahkan, ia dan seorang anaknya, kini telah memperkejakan tiga orang warga untuk memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat.

Tak kurang dari 40 kilogram biji kopi, dan 60 kilogram jagung sebagai bahan tambahnya, diolah menjadi kopi bubuk saban hari di pabrik mini miliknya yang berada di belakang rumah.

Perlu proses panjang hingga biji-biji kopi menjadi serbuk, dikemas, dan siap dipasarkan. Junaidi, salah seorang yang bekerja di rumah industri milik Fatimah memaparkan, biji kopi kering terlebih dulu disangrai.

Caranya, biji kopi dimasukkan dalam tong atau tabung berbahan seng yang diletakkan di atas tungku yang telah dinyalakan apinya. Tong yang telah terisi kopi tersebut, kemudian diputar perlahan terus menerus. Mengguling, begitu proses penyangraian ini disebut. “Sekali mengguling rata-rata 20 kilogram biji kopi,” kata Junaidi ditemui belum lama tadi.

Perlu waktu sedikitnya dua jam hingga biji kopi berwarna hitam kecoklatan dengan dengan bau khas kopi. Rampung dengan itu, biji kopi ditiriskan. Perlakukan sama juga dilakukan pada biji jangung. Hanya saja, jika sekali mengguling biji kopi maksimal 20 kilogram, janggung mencapai 30 kilogram. Pun, dengan waktu penyangraian satu jam lebih lama dibanding kopi.

Berat kedua bahan tersebut, menurut Junaidi, sekaligus menjadi takaran komposisi saat proses pelembutan yang dilakukan dengan mesin giling. Sebelum ada mesin giling, pelembutan dilakukan dengan cara ditumbuk dalam lesung. “20 kilogram kopi dicampur 30 kilogram jagung,” ujarnya.

BACA JUGA :
Pasar Murah di Kecamatan Mataraman, Pembelian Dibatasi

Setelah biji kopi dan jagung bercampur dalam bentuk serbuk, pengemasan menjadi tahap akhir sebelum ‘Kopi Jati’ -begitu kopi produksi warga Desa Jati dan Jati Baru ini dikenal- siap dijual ke pasar. Dalam pengemasan, Fatimah biasanya langsung turun tangan dibantu seorang anaknya.

Bersaing di Pasar Modern dengan Kemasan

Kopi produksi Fatimah dan warga lainnya di Desa Pasar Jati dan Jati Baru umumnya dikemas dalam plastik transparan dengan berat 250 gram. Dalam kemasan seperempat kilogram, Kopi Jati dibandrol Rp10.000. “Tapi ada juga yang dikemas dalam plastik kecil, harganya Rp2.000,” kata Rendi, anak sekaligus yang akan meneruskan industri pengolahan kopi milik Fatimah.

Selain telah siap dalam kemasan plastik, menurut Rendi, kopi sering pula dibawa ke pasar dalam kaleng atau blek untuk dijual. Setelah ada pembeli, kopi baru akan ditakar dan dikemas dalam plastik sesuai permintaan pembeli.

Menurutnya, ‘Kopi Jati’ banyak dijual di pasar-pasar tradisional di Kabupaten Banjar. Tak hanya di Kabupaten Banjar, Kopi Jati juga dijual di beberapa pasar tradisional di Kabupaten Kotabaru dan beberapa daerah Hulu Sungai.

Tak hanya menjual kopi di pasar-pasar tradisional, ‘Kopi Jati’ produksi Fatimah kini juga mulai merambah pasar toko swalayan dan toko-toko ritel modern yang mulai banyak bermunculan di Martapura dan sekitarnya.

Di toko ritel modern, menurut Rendi, Kopi Jati hadir dalam kemasan dan bentuk lebih menarik berlabel ‘Kopi Martapura, Asli Kalimantan’ dengan berat bersih 250 kilogram. Meski begitu, diakuinya, pembeli kopi di pasar modern tak sebanyak di pasar-pasar tradisional yang dalam seharinya dapat terjual hingga lebih dari 50 kilogram kopi.

Dan lagi, lanjutnya, belum banyak toko ritel modern dan minimarket yang mau menampung dan menjualkan kopi produksinya. Namun begitu, melihat pangsa pasar kopi, utamanya di pasar-pasar tradisional, Rendi optimis mampu menjadi generasi ketiga usaha pengolahan kopi, setelah orang tuanya kelak. Meski untuk itu, perlu ketekunan dan kesabaran menjalaninya. Terlebih lagi, saat ini bahan baku, berupa biji kopi relatif lebih sulit didapat.

BACA JUGA :
Disdik Banjar Wacanakan Sistem Pembelajaran Tatap Muka

Untungnya, saat ini ia sudah punya langganan tetap penyetok biji kopi yang diantar langsung ke rumah. Penyetok biji kopi, tak hanya dari sekitar Kabupaten Banjar, tapi juga beberapa daerah lain di kabupaten Tanah Laut, dan beberapa daerah di Kabupaten Tabalong.

Penyetok biji kopi, lanjutnya, adalah para pengumpul yang membeli kopi dari  petani dan warga yang menanam kopi di daerah-daerah dataran tinggi “Untuk bahan baku, sampai saat ini tak ada kendala. Karena kami sudah punya langganan yang mengantar biji kopi siap sangrai,” katanya.

Menanti Tembus Pasar Luar Negeri

Menjadi usaha termurun dilakoni sejak puluhan tahun silam, bukti resilensi industri pengolahan ‘Kopi Jati’. Keberadaannya bukan tidak mungkin akan tetap bertahan, bahkan berkembang hingga negeri ini berada di puncak masa kemesaan. Yakni saat Indoensia berusia tepat 100 tahun pada 2045 mendatang. Namun, tentu dengan campur tangan pemerintah.

Di Kabupaten Banjar, industri pengolahan kopi digeluti Fatimah dan keluarganya, satu dari ribuan usaha mikro terinfentaris pada Dinas Koperasi Usaha Mikro Perindustrian dan Perdagangan (DKUMPP). Karena menurut Kepala Bidang (Kabid) Usaha Mikro, Rudy Mulyadi, jumlah pelaku usaha mikro di Kabupaten Banjar sebanyak 26.180  pelaku usaha.

Rudy Mulyadi, Kabid Usaha Mikro pada DKUMPP Kabupaten Banjar.

Dari jumlah itu, dua ribu diantaranya merupakan pelaku usaha mikro di bawah binaan DKUMPP. “Sesuai UU 23/2014 tentang Otonomi Daerah, pemerintah kabupaten berwenang membina pelaku usaha mikro,” kata Rudy Mulyadi ditemui, Jumat (21/6/2024).

Menurutnya, sejumlah program dilaksanakan dalam upaya pembinan pelaku usaha mikro yang mandiri dan bersaya saing. Di antara pembentukan kelompok pembina usaha mikro di tiap kecamatan. Dari 20 kecamatan yang ada di Kabupaten Banjar, 19 kecamatan telah teebentuk. “Tersisa satu yang belum terbentuk. Yakni Kecamatan Paramasan,” imbuhnya.

Kelompok telah terbentuk di tiap kecamatan ini, kata Rudy, mejadi perpanjangan tangan pemerintah daerah. Termasuk pendataan dan pembinaan melalui penyuluhan-penyuluhan seusai sektor usaha.

BACA JUGA :
DPRD Buka Posko Aduan: Usut Tuntas Kasus Dugaan Pungli Oknum Satpol PP

Temasuk dalam program pembinaan dan penguatan usaha mikro, ujarnya lebih lanjut, yakni memfasilitasi pembuatan Nomor Induk Berusaha (NIB) bagi para pelaku usaha mikro. Ini bertujuan agar semua kegiatan usaha mikro dijalani masyarakat terdata sesuai ketentuan.

DKUMPP melalui Bidang Usaha Mikro, juga memasilitasi pelaku usaha mendapatkan Standar Produksi Pangan Industri Rumah tangga (SPP-IRT) dan sertofikat halal. “Tahun ini, melalui program kementerian, ada 228 pelaku usaha mikro difalisitasi mendapat sertifikat halal,” ujarnya.

Terutama untuk produk yang sudah masuk dan dipasarkan di toko ritel modern, juga difasilitasi pelindungan untuk merk dagang. Saat ini telah ada 20 produk yang sedang berproses untuk mendapatkan merk dagang tersebut.

“Yang juga dilakukan pemerintah daerah saat ini adalah upaya pengamanan asset milik pelaku usaha dalam program sertifikat tanah . Ada 250 persil tanah milik pelaku usaha yang telah proses pembuatan sertifikat,” kata Rudy Mulyadi.

Saat ini, menurut Rudy, pihaknya juga berkolaborasi dengan Indonesian Export Channel untuk mem-branding empat produk industri lokal ke luar negeri. Salah satunya kopi dengan brand ‘Kopi Datu’. “Selain kopi, ada kerupuk dan abon haruan, dan keripik pisang,” kata Rudy. (klikkalimantan.com)

Scroll to Top