klikkalimantan.com – Meski tak lagi digarap PT Pamapersada Nusantara (Pama) sejak 2016, ekploitasi batu bara di atas lahan konsesi Perjanjian Karya Penambangan Batu Bara (PKP2B) milik PD Baramarta di Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan tetap berlangsung. Bermodal Surat Perintah Kerja (SPK) yang dikeluarkan perusahaan plat merah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banjar, penambangan batu bara beralih dilakukan sejumlah Pemegang Ijin Usaha Pertambangan (IUP).
Dengan pola konvesional tanpa peledakan (blasting), seperti yang dilakukan PT Pama saat bekerja, penambangan tak kalah massif dilakukan. Apesnya, pengerukkan batu bara justru berdampak buruk pada lingkungan dan warga sekitar areal tambang.
Syamsir, warga Desa Sungai Pinang mengatakan, sejak ditinggal PT Pama, penambangan kian dekat dengan perkampungan. Aktifitas mengeruk perut bumi menggunakan alat berat dan mencipta lubang-lubang raksasa, menjadi pemandangan lazim bagi warga, karena penambangan dilakukan nyaris tak berjarak dari badan jalan. “Debu sudah biasa dan jadi makanan sehari-hari warga,” ujar Samsyir, Senin (4/11/2019).
Tak hanya debu yang mesti ditanggung warga, menurut Syamsir, penambangan batu bara juga berdampak matinya aliran sungai yang ada di desanya. Proses penambangan yang menurutnya tak lagi mengindahkan dampak lingkungan. Pasalnya hingga bantaran sungai juga ditambang.
“Aliran sungai mati, sumur-sumur kering karena kalah dalam dengan lubang-lubang yang digali penambang. Warga yang menanggung dampaknya,” kata Syamsir.
Aliansyah, Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kelompok Pemerhati Kinerja Aparatur Pemerintah dan Parleman (KPK-APP) Kalimantan Selatan menimpali. Ada dua sungai besar di Kecamatan Sungai Pinang mati akibat penambangan batu bara milik PD Baramarta.
“Ada dua sungai yang mati akibat penambangan batu bara. Padahal dulunya, dua sungai itu termasuk sungai besar seperti halnya Sungai Sungai Martapura,” kata Ali yang mengaku sempat meninjau ke lokasi penambangan di Kecamatan Sungai Pinang sepekan sebelum aksi unjuk rasa yang mereka lakukan, Kamis pekan kemarin.
Lebih para lagi, menurut Aliansyah, sejumlah fasilitas umum yang dibangun PT Pama saat masih beroperasi, juga rusak. “Jalan dan sebuah jembatan tinggalan PT Pama hancur karena aktifitas penambangan. Pepohonan hasil reklamasi banyak yang mati karena areal lahan bekas tambang yang sudah ditanami pohon, juga ditambang lagi,” ujarnya.
Teguh Imanullah, Direktur Utama (Dirut) PD Baramarta membenarkan pihaknya telah menerbitkan SPK untuk penambang lokal pemegang IUP. Itu dilakuka sebagai uya kerjasama untuk optimalisasi cadangan baru batu bara di atas lahan konsesi.
Menurut Teguh, penerbitan SPK untuk penambang lokal dilakukan lantaran kontraktor, PT Pama telah angkat kaki dikarenakan wilayah pertambangan yang sudah semakin dekat dengan permukiman penduduk. Dan tak lagi dapat deikerjakan skala besar dengan pola blasting.
“Wilayah pertambangan sudah semestinya ada yang mengelola karena jika dibiarkan justru akan diobrak-abrik dan dijarahi penambang liar. Dan kami tidak ingin itu terjadi di wilayah pertambangan PD Baramarta,” kata Teguh. (to/zai/klik)