“Itu yang tidak ditemui di moda transportasi lain. Di dalam kapal terjalin komunikasi dan silaturahmi antar penumpang. Akrab, bahkan ada yang sampai jadi seperti saudara”
Oleh: Rudiyanto
Ratusan calon penumpang sudah memadati depan ruang tunggu keberangkatan Pelabuhan Trisakti, Banjarmasin, Kalimantan Selatan saat Suyatno, istri, dan dua anak laki-lakinya tiba satu jam sebelum tengah malam. Melihat itu, pria berperawakan tinggi ini bergegas memanggul tas berukuran jumbo di atas pundak kiri, satu kardus berukuran sedang dijinjing di tangan kanan. Satu kardus yang lain dibawa sang istri. Di belakang, dua anak laki-lakinya menggiring sembari menolah-noleh memerhatikan tiap sudut gelap pelataran gedung dermaga.
Setengah terburu-buru, Suyatno berharap masih ada ruang kosong menempatkan barang-barang bawaannya tak jauh dari pintu masuk ruang tunggu. Ini, agar saat pintu ruang tunggu terbuka, mereka dapat segera merangsek ke dalam.
“Kalau bisa sedekat mungkin dengan pintu masuk. Karena jika tidak, tak dapat tempat duduk di dalam ruang tunggu,” kata Suyatno menceritakan kembali penggalan memori saat kepulangan pertamanya ke kampung halaman di Sragen, Jawa Tengah pada 1993 silam.
Terus bertambah, kian padat, karena bersamaan mereka, para calon penumpang tujuan yang sama, Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang tak henti berdatangan. Sedangkan pintu ruang tunggu lazimnya baru akan dibuka dua jam sebelum jadwal keberangkat. Tertera dalam tiket yang dibeli di satu-satunya agen penyedia tiket di Martapura, Kabupaten Banjar kala itu, kapal milik PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) akan berlayar pukul 04.30 Wita.
Kepadatan calon penumpang berangsur berkurang sesaat setelah petugas membuka pintu masuk ruang tunggu. Berdesakan di antara para penumpang lain yang juga berusaha ingin masuk lebih dulu, Suyatno menunjukkan empat tiket kepada petugas. Dua tiket dewasa dengan palet warna hijau dan dua tiket anak-anak dengan palet warna merah.
Rampung diperiksa, deretan tempat duduk tak jauh dari pintu keberangkatan berdinding kaca, bergegas mereka hampiri. Tujuannya sama, agar dapat lebih dulu keluar dari ruang tunggu, lebih dulu masuk kapal, dan lebih dulu mendapatkan tempat tidur di dalam kapal.
Kurang dari dua jam dalam penantian di ruang tunggu, marine horn menggema pendek berjeda satu kali. Tak lama setelahnya, haluan kapal berwarna dominan putih coklat setinggi sembilan meter, dengan kapastias tampung maksimal 1.000 penumpang, perlahan tampak dari balik kaca ruang tunggu.
“KM Kelimutu. KM-nya itu apa pak?” begitu Suyatno menirukan anak keduanya yang saat itu duduk di kelas 4 SD, membaca tulisan yang ada pada bagian samping haluan kapal. “Kapal Motor” jawabnya kepada sang anak.
Dari balik dinding kaca ruang tunggu, bersama dua anaknya, Suyatno yang merupakan perantau program transmigrasi sebagai buruh sadap karet pada perkebunan milik negara di Danau Salak, Kecamatan Mataraman, Kabupaten Banjar sejak 1977 ini menyaksikan proses bongkar muatan, juga turunnya penumpang melalui tangga pada samping kapal. Tangga yang juga akan segera mereka naiki.
Melihat jumlah penumpang yang turun dari atas kapal terus berkurang, mereka bergegas kembali ke tempat duduk, menghampiri sang istri yang lebih memilih duduk menunggu barang bawaan di atas kursi; satu tas besar berisi pakaian, dan dua kardus berisi oleh-oleh.
“Ayo Mak…! Sedilit meneh munggah kapal (Tak lama lagi naik kapal-red)” katanya kepada sang sang istri yang segera berdiri dan meraih satu kardus. Sedangkan Suyatno sudah siap dengan tas besar di atas pundak kiri dan satu kardus di tangan kanan. Mereka lantas merapat menuju pintu keluar ruang tunggu.
Tak lama setelahnya, pintu keluar ruang tunggu terbuka. Namun, untuk dapat lebih dulu sampai ke dalam dek di atas kapal, bukan hal gampang di tengah jejal ratusan penumpang. Terlebih lagi Suyatno juga harus tetap menjaga dua anaknya. Di tengah kondisi saling berdesakan antara sesama penumpang tersebut, ada saja penumpang yang berteriak dengan nada tinggi meminta penumpang lain mengalah karena ada ibu yang sedang menggendong bayinya.
Sampai di atas kapal, para penumpang mulai berhamburan, mencari tempat tidur sesuai dek yang tertera dalam tiket. Tak terkecuali Suyatno yang menyisir dek dua untuk mencari tempat tidur yang belum terisi. Untungnya tak lama tempat yang dicari ditemukan.
***
Suasana di atas kapal selama pelayaran berlalu begitu monoton. Sebagian besar penumpang hanya menghabiskan waktu dengan tidur-tiduran. Namun tak sedikit pula yang memilih keluar, sekadar melihat-lihat pemandangan laut dan menghirup udara segar. Suyatno dan dua anaknya termasuk yang sering keluar masuk dek selama pelayaran.
Lamanya perjalanan di atas kapal, membuat penumpang tak mungkin mengandalkan hanya dari jatah ransum. Banyak penumpang yang membawa bekal makanan sebagai persiapan penempuh pelayaran panjang. Roti, makanan ringan, atau mi instan adalah bekal umum dibawa para penumpang sebagai bekal dalam perjalanan. Mereka umumnya saling menawarkan dan berbagi makanan.
Perlu waktu hingga 24 jam sebelum kapal bersandar di dermaga tujuan. Ini diakui Suyatno yang saat ini berusia 75 tahun, sangat melelahkan. Namun hasrat bertemu dengan orang tua dan sanak saudara di kampung halaman, mengalahkan letih di perjalanan. Lamanya waktu tempuh, membuat interaksi antar penumpang di dalam kapal tak mungkin dapat dihindari. Ini sekaligus menjadi perajut tali silaturahmi.
“Itu yang tidak ditemui di moda transportasi lain. Di dalam kapal terjalin komunikasi dan silaturahmi antar penumpang. Akrab, bahkan ada yang sampai jadi seperti saudara. Saya ingat penumpang yang kala itu berada di sebelah kami, namanya Ibu Sri. Kami bahkan sempat singgah dan menginap di rumahnya di Boyolali sebelum pulang ke Sragen,” kata Suyatno.
Hingga jelang tahun 2000, Suyatno dan keluarga masih menggunakan kapal sebagai moda transportasi utama saat menjengguk kampung halaman. Meski pulang kampung bukan lah rutintas tahunan yang mereka lakukan. “Biasanya saat masa libur sekolah. Jika tidak salah ingat, terakhir pulang ke Jawa naik kapal Pelni tahun 1999. Kapal Egon,” ujarnya.
Bagi para pendatang seperti Suyatno, keberadaan kapal Pelni krusial sebagai moda transportasi utama kala ingin pulang menjenguk sanak dan teman lama di kampung halaman. Setidaknya hingga periode 2000-an. Karena setelah itu, kapal Pelni trayek Banjarmasin – Semarang tak ada lagi. Pemberangkat penumpang hanya ada via Pelabuhan Kumai di Kalimantan Tengah.
“Terakhir jika tidak salah ada pemberangkatan penumpang menuju Semarang tahun 2011. Kapalnya Egon. Ada penyesuai trayek kapal Pelni dilakukan pemerintah. Dalam hal ini Kementerian Perhubungan. Dan kami di Cabang Banjarmasin, tentu harus melaksanakan itu,” kata Subhan, Kepala Cabang PT Pelni Banjarmasin dikonfirmasi, Kamis, 11 Juli 2024.
Tak lagi melayani pemberangkat penumpang, PT Pelni Banjarmasin, kata Subhan, saat ini fokus pada pengelolaan bisnis jasa logistik. “Yang kami layani saat ini salah satunya pengangkutan Semen Conch dari Banjarmasin menuju Morowali di Sulawesi Tengah,” katanya. (klikkalimantan.com)