Oleh : Ruhansyah
Dosen Fakultas Hukum UNISKA MAB
Setiap sekolah tentu memiliki program 7K, yang meliputi ketertiban, keamanan, kedisiplinan, keindahan, kerindangan, kekeluargaan, dan kesehatan.
Program 7K merupakan rangkaian kegiatan sekolah yang bertujuan menanamkan nilai-nilai positif pada peserta didik. Namun, pelaksanaan program tersebut tidaklah mudah. Masih ada siswa yang tidak mematuhi aturan, sehingga diperlukan pemantauan dari kepala sekolah beserta tim evaluator untuk memastikan bahwa rencana yang telah disusun benar-benar terlaksana dengan baik.
Salah satu bentuk implementasi ketertiban dan kedisiplinan adalah razia sekolah. Pelaksanaan razia memiliki urgensi penting. Pertama, razia menjadi sarana penegakan disiplin yang membantu siswa memahami bahwa aturan dibuat bukan untuk membatasi, tetapi untuk membentuk karakter yang bertanggung jawab dan teratur. Kedua, razia mendukung terciptanya lingkungan sekolah yang aman dengan mencegah masuknya barang-barang berbahaya. Ketiga, razia mendorong siswa menjaga kebersihan, kerapian, dan etika berpenampilan—kebiasaan yang bermanfaat bagi kehidupan mereka kelak di masyarakat.
Namun dalam praktik, razia yang seharusnya bersifat mendidik terkadang berubah menjadi tindakan penyitaan atau perampasan barang. Padahal, menurut Pasal 38 ayat (1) KUHAP, penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dan harus disertai surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Artinya, sekolah tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyitaan sebagaimana aparat penegak hukum.
Lalu bagaimana kedudukan razia yang dilakukan sekolah? Sekolah tetap boleh melakukan pemeriksaan berdasarkan tata tertib—misalnya larangan membawa senjata tajam, rokok, kosmetik tertentu, atau barang lain yang dilarang. Namun yang perlu dipahami adalah bahwa tindakan tersebut hanya berupa penahanan sementara, bukan penyitaan dalam arti hukum. Sekolah tidak boleh mengambil barang siswa secara permanen, menahan tanpa batas waktu, merampas secara paksa, atau membuka ponsel tanpa izin. Tindakan demikian dapat melanggar: UU Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014, yang melarang kekerasan fisik maupun psikis serta melindungi hak privasi dan rasa aman anak, dan UU Sisdiknas, Pasal 12 ayat (1), yang mewajibkan satuan pendidikan menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan mendukung perkembangan peserta didik.
Selain itu, sekolah tidak boleh membiarkan barang hasil razia terbengkalai atau dimanfaatkan secara pribadi oleh oknum tertentu, karena hal tersebut dapat termasuk perbuatan melawan hukum.
Agar razia tidak melampaui batas kewenangan, sekolah harus memiliki prosedur yang jelas dan sah menurut hukum, antara lain:Memiliki aturan tertulis dalam tata tertib sekolah, Memberikan pemberitahuan sebelum razia, Razia dilakukan oleh pihak yang berwenang dan ditugaskan secara resmi, Pemeriksaan dilakukan dengan etika dan sopan santun, Barang hanya ditahan sementara, bukan disita permanen, Guru mencatat barang-barang yang ditahan beserta alasannya secara transparan, serta Pengembalian barang dilakukan melalui orang tua tanpa penundaan, apalagi hingga bertahun-tahun.
Razia di sekolah bukanlah tindakan represif, melainkan langkah preventif, edukatif, dan protektif untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Namun, pelaksanaannya harus tetap menghormati hukum dan hak-hak peserta didik. Jika tidak, tindakan tersebut berpotensi masuk ke ranah perampasan, sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP yang berbunyi:“Barang siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp900.000.”***



































